Ia melemaskan kepalanya sesaat kemudian bersantai lagi di kursinya yang empuk seraya berbicara di telepon. Menikmati udara pagi yang sedikit sumpek namun cukup dingin untuk menjadi alasan untuknya tetap bermalas – malas beberapa menit lagi. Ia melirik jam dindingnya dan sesaat kemudian ia berhenti berbicara di telepon. Wanita itu mengangkat kepala seraya berteriak memanggil. Dua detik... tiga detik......
Ia menunggu.........
Kemudian ia berteriak lagi. Kali ini dengan suara yang lebih keras.
“IYEEEEEEMM!!”
Seorang wanita di usia tiga puluhan terhuyung lemah menghampiri sang nyonya muda. Wajahnya sedikit pucat, ia memang terserang diare sejak kemarin malam. Iyem melangkah masuk sambil sedikit menunduk. Sang nyonya menatap tajam seolah ingin menerkamnya.
“Lama banget sih ?!! Selalu saja!! Pasti kamu tadi lagi tidur waktu saya panggil!!”
“Nggak, Nyonya. Saya tadi lagi di toilet. Dari tadi pagi, saya buang – buang air......”
Sang nyonya menatapnya sinis. “Alasan kamu itu makin banyak, ya?! Sudah sana!! Mulai bersih – bersih!!”
Iyem menunduk lagi. Perutnya masih mulas luar biasa, tapi apa daya? Kalau dia tidak mulai mengerjakan tugasnya sekarang, mungkin sang nyonya tidak akan membayar gaji mingguannya. Ia bekerja saja, kadang – kadang tidak diberi uang.
Sang nyonya muda kembali ke posisi duduk santainya dan berbicara di telepon.
“Ada apa sih? Jangan teriak – teriak begitu, nanti tenggorokan kamu sakit.” Terdengar suara lembut di seberang telepon.
Sang nyonya muda merengut. “Biasa Bu, itu lho, si babu edan. Malasnya kambuh lagi. Pura – pura sakit, cih, tipuan kuno. Mau coba ikut – ikut trend pejabat yang pura – pura sakit waktu dipanggil sidang.” Sang nyonya muda tertawa mengejek. “Dasar tolol si babu itu!!”
Sesosok wanita lusuh tengah menyapu seraya mendengar dengan sedih. Tubuhnya serasa akan rontok. Diare yang menyerangnya sejak kemarin membuatnya lemah dan hampir dehidrasi. Tragisnya, dia tidak bisa mengeluh.
Di rumah ini keluhannya tidak akan terdengar.
“Jadi kapan kau pulang?”
“Entah Ma, mungkin minggu depan. Mas Lukito sedang mengurus semuanya. Yang pasti, aku pasti akan pulang. Aku sangat tidak suka dengan rumah ini. Tidak ada kemewahan sama sekali.”
“Tapi mereka sudah Ibu bayar lebih untuk memberimu tempat istimewa.”
“Istimewa? Yang benar saja?! Semua barang di sini belel, sama sekali tidak ada yang istimewa. TV nya saja hanya 21”. Pokoknya aku mau pulang!! Sangat memuakkan berada di sini!. Tetangga yang sok, babu tolol....ya ampun!!!”
“Iya sayang, kami akan segera mengurus kepindahanmu pulang ke rumah. Tunggulah sebentar lagi.” Sang nyonya besar mencoba membujuk putrinya.
“OK,” hanya itu jawaban dari si nyonya muda setelah beberapa detik. “ Yang penting minggu depan, aku harus sudah ada di rumah. Ya sudah. Aku mau ke salon dulu. Katanya ada masker buah baru. Walaupun pasti tidak terlalu bagus, yah....lumayanlah daripada tidak ada.”
“Bye sayang. Hati – hati ya.”
Sang nyonya muda menutup telepon dan bangkit dari sofa malasnya. Ia merapikan baju dan berpaling pada si babu yang masih mengelap.
“Bersihkan semuanya sampai rapi. Jangan lupa baju – baju kotor yang ada di keranjang.” Katanya. Wajah si babu terlihat pucat dan lemas. Repot nanti kalau dia mati di sini, pikirnya. Sang nyonya muda melanjutkan, “...setelah itu, baru kamu boleh tidur.”
Sang nyonya muda melenggang keluar meninggalkan pembantunya.
Perempuan lusuh itu lunglai di lantai yang keras. Sekeras dipannya. Ia tidak bisa melawan atau berbuat apapun. Kodratnya di rumah ini memang rendah. Ia hanya dapat menjerit dalam hati.
Miris. Hanya tulang – tulang rapuhnya yang mau mendengar.
Tatapan sosok tua di seberang meja meredup. Renta tua. Tak berdaya. Tidak jauh berbeda dengan wanita tiga puluhan di sisi lain meja. Putus asa. Tidak ada harapan.
Iyem berusaha menahan air mata yang nyaris jatuh. Melihat ibunya yang telah tua termakan usia. Tulang – tulang pipinya menonjol membuat wajah si mbok terlihat cekung. Namun masih saja bersahaja. Semua yang ada padanya mengingatkan Iyem akan rumah.
Ia menghela napas panjang. Rumahnya. Kehidupannya. Walaupun bisa makan dua kali sehari saja sudah untung, namun jelas udara di rumah tentu tidak sepengap di sini. Iyem menghela napas sekali lagi. Membiarkan udara pengap itu mengalir keluar dari paru – parunya. Bahkan dari hidupnya, kalau bisa.
“Rematik mbok masih sering kumat?” tanya Iyem prihatin.
“Ya....tidak, Yem, cuma kadang – kadang. Kamu tenang saja. Mbok baik, kok. Justru mbok takut kamu sakit. Kamu lagi sakit? Muka kamu pucat, Yem.”
Iyem tertohok. Astaga. Itu sorot mata cemas si mbok tiap kali ia sakit. Bak telepati ibu dan anak, walaupun Iyem tidak bilang, si mbok selalu tahu kalau putri semata wayangnya tengah sakit.
“Nggak.” Jawab Iyem setenang mungkin. Menghindari tatapan ibunya. Menghindari telepati sang ibu tahu kalau dia dehidrasi kemarin.
Kalau dia demam tinggi minggu lalu.
Kalau dia habis dipukuli bulan lalu.
Kalau dia menderita karena tidak ada duit untuk beli ganja.
“Yem, kamu nggak lagi bohong sama mbok, kan?”
Iyem memberanikan diri tersenyum pada ibunya. Rasanya getir.
“Lalu kamu kapan pulang? Si Tati kangen.”
“Entah, mbok.” Mendengar tentang anaknya, Iyem tepekur sunyi. “Tati gimana? Sekolahnya bagus?”
“Ya lumayan. Nilainya lebih bagus dari yang sebelumnya. Mungkin karena dia sudah berhenti ngamen, jadi dia lebih rajin belajar. Ini, tadi Tati nitip ini buat kamu.” Si mbok memberikan setumpuk kertas.
Kali ini ia tidak tahan lagi. Air matanya jatuh satu – satu hingga akhirnya berderai di wajahnya. Nyeri rasanya tidak bisa berada di sisi Tati dan melihat anaknya itu belajar perkalian. Sakit rasanya tidak bisa menolong si mbok saat rematiknya kambuh.
“Sabar, Yem......sing sabar....sabar.....” suara si mbok ikut bergetar lirih. Hatinya ngilu melihat putrinya menunduk di atas meja dan menangis. Iyem berada di sini bukan karena kesalahannya. Beberapa tahun lalu, putrinya nikah dengan seorang pemuda di desanya yang bernama Tilo. Tati lahir di tahun berikutnya, dan si mbok merasa dia nenek yang paling bahagia. Namun di tengah hidup pas – pasan mereka, ternyata si Tilo tukang judi dan kabur meninggalkan banyak utang. Para rentenir dan tuan tanah beserta premannya melabrak rumah Iyem untuk menagih hutang. Namun karena Tilo kabur, mereka menggiring Iyem dan mengirimnya ke penjara.
Hati si mbok lebih teriris lagi setelah melihat keadaan anaknya di penjara. Ingin berkunjung pun sulit. Para penjaga di tiap pintu penjara minta duit. Kalau tidak diberi, mereka melarang si mbok masuk. Hidup Iyem lebih miris lagi. Di penjara, dia malah terkontaminasi ganja dan narkoba yang beredar antar tahanan. Seringkali ia tidak mampu beli ganja dan hanya bisa mendekam kesakitan di sudut selnya. Ditambah lagi harus membiayai si mbok dan Tati. Dulu, sebelum Iyem masuk penjara, ia bekerja sebagai buruh cuci. Yah, gajinya lumayan buat makan dan sekolah. Tapi sekarang? Bahkan si mbok pun harus bekerja lagi untuk mendapatkan tambahan duit.
Karena semua itulah, mau tidak mau di dalam penjara, Iyem bekerja sebagai pembantu dari tahanan yang lebih kaya. Sebulan dapat seratus ribu. Kadang cuma lima puluh ribu. Sangat tidak sebanding dengan semua kerja keras dan penderitaannya.
Suara pintu berderak membuyarkan lamunannya. Seorang penjaga baru saja berteriak kasar. Waktu mereka sudah habis. Hanya 10 menit. Terlalu singkat untuk melepas kerinduan selama empat bulan. Namun, apa daya?
“Sebentar lagi, Pak.... dua menit lagi saja.... tolong, Pak....nanti saya kasih lima ribu....” ujar si mbok memelas. Ia masih belum cukup puas memeluk anaknya. Harusnya tadi dia tidak terlalu banyak diam. Harusnya dia lebih banyak berbicara dengan Iyem.
“Saya bilang selesai, ya selesai!! Lima ribu?!! Buat apa?? Paling buat beli permen?! Kalau mau sepuluh ribu buat tambahan lima menit!! Udah, cepat keluar!!!”
“Pak, sebentar lagi...” Iyem memelas.
Si penjaga berang. “Kamu masuk ke sel atau mau saya seret?!”
Si mbok dengan enggan meninggalkan anaknya. Iyem yakin ibunya menangis saat ini. Selalu saja. Keadilan selalu menghindari mereka yang miskin. Seolah sang adil jijik melihat mereka dan lebih baik ikut berpesta dengan para kaya.
Sesosok wanita tua lain melangkah masuk ke dalam ruangan. Aroma parfumnya menyebar ke setiap sisi. Penjaga tadi tersenyum padanya. Terutama setelah ibu itu menyisipkan selembar uang biru. Tidak lama muncul dari dalam penjara, seorang wanita lain yang tidak kalah glamour. Wida. Sang nyonya muda.
Melihat keberadaan babu tololnya, Wida segera menyuruh Iyem untuk segera kembali bersih – bersih. Lalu ia buang muka dan mengobrol asyik dengan ibunya. Mungkin selama setengah jam. Atau satu jam. Dua jam.
Iyem melangkah lemas ke dalam sel. Air matanya jatuh lagi saat melihat tumpukan kertas dari Tati. Itu hasil ulangan anaknya yang semuanya bernilai sepuluh yang dihiasi bintang. Di bagian atas dari tiap kertasnya, Tati menulis kalimat yang sama.
Ini Sepuluh Bintang untuk ibu.
Kertas – kertas itu terasa menusuk telapak tangannya.
Wida memandang ringan sel penjaranya. Akhirnya. Setelah dua bulan mendekam dalam penjara bersama para tetangga sok dan babu – babu tolol. Akhirnya ia bisa bebas!! Mas Lukito mengurus semuanya dengan apik. Walaupun perlu merogoh kocek lebih dalam, tapi itu semua tidak sepenting kebebasannya. Berlembar – lembar rencana berputar di benaknya. Saat ia pulang nanti, ia akan mencari kantor baru. Duduk di kursi yang nyaman, dan mengutil duit dengan jarinya. Sogok kiri, sogok kanan, dan puluhan juta mengalir lancar ke dalam sakunya. Betapa enaknya bekerja di negeri ini. Keadilan selalu memihak yang ‘pintar’. Tidak perduli kutukan orang lain. Biar saja yang miskin itu menyumpah – nyumpah di TV. Mereka hanya bisa mendengar perut lapar dan menatap dengan tangan kosong.
Wida melenggang pergi dengan kacamata hitamnya. Tentunya setelah menertawai tetangganya yang sok. Sayangnya si tetangga tidak punya duit sederas dirinya, sehingga orang sok itu hanya bisa gigit jari di selnya.
Seorang perempuan lusuh menatap iri Wida dari balik jeruji. Si babu tolol. Dua tahun sudah ia mendekam di sana. Entah masih berapa lama lagi. Iyem hanya dapat memandang kosong mantan majikannya yang telah menghirup udara bebas.
Di mana sang ratu adil?
Entah.
Iyem melengos pergi.
Daripada memikirkan jawabannya, lebih baik ia mencari majikan baru.
IIIIII
Tidak ada komentar:
Posting Komentar