Search

Selasa, 02 Maret 2010

10 Oktober 2009


10 Oktober 2009 19:48

Sebuah Honda City silver metalik melaju dengan kecepatan tinggi menelusupi keramaian kota. Terus-menerus meliuk liar tanpa menghiraukan klakson protes mobil lain yang hampir ditabraknya. Ia seolah merasa dirinya raja jalanan. Beberapa pemakai jalan lain gerah dan mulai berteriak memaki. Syela terus mengendarai mobilnya seraya tertawa menikmati kegilaan itu. Ia membanting stirnya tanpa perduli apa yang ada di sampingnya. Kakinya menekan pedal gas dalam-dalam walaupun terdengar peluit polisi yang memberinya peringatan.

Sekali lagi Syela berteriak. Kali ini hampir tiga kali lebih keras dari sebelumnya, karena baru saja berhasil menghindari minibus yang datang dengan kecepatan tinggi dari arah berlawanan. Ia tertawa keras pada sosok di belakangnya. Seorang nenek tua tengah meringkuk seraya memeluk tasnya. Tubuh keriputnya gemetar dikunyah-kunyah rasa takut. Sudah lebih dari seratus kali ia mengucapkan kata ‘Tuhan’, memohon agar semuanya berakhir. Dan ia putus asa. Entah sampai berapa ratus kali lagi mulutnya akan mengucapkan doa itu. Sampai dua ratus atau jantungnya yang akan berhenti berdetak terlebih dahulu.

“Berhenti...” bibirnya yang gemetar melontarkan suara lirih. “...berhenti...”

Syela menoleh ke belakang, menatap sang nenek dengan dingin. “ Ini balasan untuk kalian, karena berusaha menyingkirkanku!! Balasan untuk Pia tua yang sok bijak, untuk Kila si anak kecil pengecut dan balasan tentu saja untuk si Elois brengsek yang lebih kalian pilih daripada aku!!”

Kemudian si gadis muda memaki seraya kembali ke stirnya, menanti perempatan berikutnya untuk diseberangi. Lampu merah menyala. Mobil-mobil di sampingnya merespon dan berhenti. Namun Syela segera menginjak pedalnya lebih dalam lagi. Menyalip sebuah mobil di depannya dan bersiap menyeberangi perempatan. Jarum speedometer melompat ke angka 110. Honda City-nya melaju menyeberangi jalan. Rentetan klakson mengiringi sang nenek tua yang semakin gemetar menggulirkan doa untuk keselamatannya. Tepat saat ia mengucapkan kata ‘Tuhan’-nya yang ke-121 kali, mendadak sebuah sinar menyilaukan menyergap jendela kiri. Ia masih sempat menyebut ‘Tuhan’ satu kali lagi sebelum mendengar teriakan Syela disusul dentuman hebat.

Dafa memacu mobilnya secepat mungkin, berusaha mengejar Syela. Namun ia perlahan berhenti dan terhenyak. Pemuda itu harus menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri. Sebuah minibus dengan kecepatan tinggi menghantam Honda City Syela hingga terhempas keras ke pagar jalan. Dentuman itu hanya menyisakan keheningan.

........dua detik kemudian, Dafa berlari keluar mobil dan berteriak.

****

9 Oktober 2009 18:03 – Elois Purnadjaja

9 Oktober. Aku menyilangnya dengan semangat. Akhir dari minggu ujian akhirnya datang juga. Setelah bergelut sekian lama dengan para klitelum, monokotil, turunan parsial, dan asam format, akhirnya liburan merapat mendekat dan berdiri di depan mataku. Liburan di vila milik Neysa, barbeque party, nonton DVD bajakan, malam penuh gosip. Semua itu yang menyita pikiranku selama minggu ujian. Avogadro, sistem periodik, dan termodinamika harus rela berdesakan karena mereka hanya kuberi jatah 35,67% dari kavling otakku. Sekali lagi aku memandangi kalender dengan senyum puas. 11 Oktober!! 11 Oktober!! Aku akan liburan dengan yang lain!!!

....tunggu dulu....11 Oktober??! Berarti masih ada tanggal...

“Jangan senang dulu, Elois, kau belum melewatkan tanggal 10.” Dafa seolah dapat menyambung apa yang ada di benakku.

10 Oktober?! ASTAGA!! Elois, bagaimana kau bisa melupakan BESOK?! Ujian sejarah, deadline pengumpulan makalah biologi dan tugas akhir praktikum fisika, pengumuman remmedial untuk ujian-ujian sebelumnya, rapat OSIS membosankan sampai sore...

“Besok malam kau janji untuk menemani oma belanja syal.”

HAH?? Kemana perginya keberuntunganku di tanggal 10?

Aku terduduk lemas di samping Dafa. Terhenyak mengetahui betapa menyebalkannya to-do list-ku besok. Ujian sejarah tentang Pithecanthropus dan teman sekelasnya plus Tribhuwanattunggadewi yang entah ibunda dari raden siapa. Makalah biologi yang belum menyentuh bab analisis. Tugas akhir praktikum fisika yang rumusnya masih benang kusut. Pengumuman remmedial yang pasti dengan senang hati mencantumkan nama Elois Purnadjaja di semua deretan mata pelajaran. Rapat OSIS berdurasi tiga jam dengan topik bahasan yang sama dengan dua rapat sebelumnya. Plus bonus belanja syal dengan oma yang memerlukan lebih dari satu setengah jam hanya untuk memilih antara syal merah atau syal hijau (dan biasanya setelah itu oma malah melirik syal coklat yang ada di rak lain dan berpikir ulang untuk memilih di antara tiga syal. Aku? Aku langsung membalik jam pasirku seraya menguap dan menghitung ulang dari detik pertama hingga satu setengah jam ke depan).

“Satu lagi,” kata Dafa beralih dari PS3-nya dan memandangku. “setelah itu, kau ada janji dengan Tante Syl sekitar jam delapan. Jangan sampai lupa.”

Aku cemberut. “Untuk apa sih aku bertemu dengan dia? Dia orang yang konvensional dan membosankan. Gaya bicaranya seperti tengah menginterogasiku. Dia juga selalu menanyakan tentang orang-orang yang tidak kukenal. Misalnya....hmm.... Pia, Syela, dan....siapa nama anak aneh itu, ....ah ya, Kila... Jangankan kenal, pernah dengar nama mereka saja aku tidak pernah.”

“Maksud Tante Syl itu sebenarnya baik, Elois. Dia hanya ingin mengobrol denganmu. Kau tahu kan, anak perempuan satu-satunya meninggal, jadi ia menganggapmu sebagai putrinya. Tentang Pia, dan yang lainnya itu, mungkin mereka teman-teman dari putrinya. Tante Syl pasti hanya kelepasan bicara. Toleranlah sedikit, dan nikmati saja obrolan kalian.”

“Kau yakin dia tidak punya ilmu seperti hipnotis, atau penyakit jiwa akibat kematian putrinya?? Kau tahu aku memang pelupa. Kadang lupa menaruh barang, dan kadang-kadang lupa baru saja berkata apa. Yah OK, aku memang pelupa level super. Tapi setiap kali aku mengobrol dengan Tante Syl, aku sangat sering lupa. Mendadak aku berada di dapur dan aku tidak mengerti yang ia katakan. Atau dia menjawab pertanyaan yang tidak kutanyakan. Kupikir dia pasti sudah gila...”

Dafa mengerutkan kening lalu tertawa. “Astaga Elois....dia hanya ingin mengobrol saja denganmu. Dia memerlukanmu agar tidak terlalu sedih memikirkan putrinya. Dan...dia tidak gila. Kalau Tante Syl sering ngelantur, mungkin saat itu dia sedang mengantuk. OK?”

“Hmm...OK.” aku berpikir sejenak, menelan mentah-mentah perkataan Dafa. Lagipula tidak ada gunanya aku memikirkan hal itu. Masih banyak hal yang harus kukerjakan saat ini. MASIH BANYAAAKKK!!

“Tidak perlu tertekan seperti itu, Elois. Keadaannya tidak akan seburuk yang kau bayangkan.” Dafa kembali beralih pada PS3-nya dan memilih Inter Milan sebagai tim yang akan dimainkannya. Kemudian ia menempatkan I Nerrazzuri di salah satu tempat dari 32 kotak kosong yang tersedia. Aku mengomel seraya mengambil stick PS Dafa dan memilih tim lain yang akan menjadi lawan Dafa, dengan menempatkannya di kotak kosong lain.

Dafa merebut stick PS-nya kembali dan menekan tombol lingkaran. “Kau tidak perlu repot-repot memilih. Tinggal tekan lingkaran untuk skip, dan komputer akan memilih tim-tim itu secara acak untuk bertanding.” Selanjutnya dalam sekejap, puluhan kotak kosong tadi terisi.

“Jadi tidak perlu memilih tim satu persatu? Enak sekali bisa melewatkan sesuatu! Andai aku bisa melewatkan besok. Tekan lingkaran dan aku bangun pagi di 11 Oktober pagi. Bangun pagi, mandi, dan pergi ke vila Neysa.”

Dafa tertawa. “Kalau aku punya stick seperti itu, tidak akan kupinjamkan padamu. Berhentilah berkhayal tentang pesta barbeque, Non. Hafalkan dulu fosil apa yang ditemukan di Magelang.”

Aku bangkit seraya menggerutu. Lebih baik aku mulai mengerjakan makalah sekarang atau aku mungkin tidak akan sempat tidur malam ini.

Sinar matahari menelusup masuk dari celah-celah tirai kamarku. Tepat menyinari wajahku hingga aku terbangun. Dengan enggan, perlahan kubuka mataku seraya berpaling menghindari silaunya terik matahari. Ya ampun, kepalaku sakit sekali. Pasti ini efek dari beragadang semalaman. Aku sudah mencoba mengerjakan semuanya secepat mungkin, namun tetap saja membuatku terjaga hingga jam tiga pagi. Padahal jam 5.30 aku harus segera bangun karena ujian sejarahku dimulai jam tujuh.

Jam 5.30? ..tunggu dulu, matahari 5.30 tidak mungkin seterik ini, kan?? Panik, aku melihat jam dinding. 6.15. Aku spontan bangkit dari ranjang, tanpa menghiraukan kepalaku yang masih berat. Kusambar handuk dan keluar kamar sambil mengomel karena tidak ada yang membangunkanku.

Ruang keluarga terlihat sangat sepi. Tidak ada satu orang pun. Bahkan suara Bi Iyem yang tengah mencuci piring pun tidak ada. Hei, ke mana semua orang? Apa mereka semua masih tidur? Kulirik kamar Dafa. Ranjangnya sudah rapi. Begitu pula dengan kamar orang tuaku. Aku memang anak angkat keluarga Purnadjaja, tapi selama delapan tahun aku diadopsi, peristiwa ‘mereka membereskan ranjang setelah bangun tidur’ bisa dihitung pakai jari.

“Bi Iyem!! Dafa!!” teriakku. Tidak ada jawaban.

“Pa!! Ma!!” teriakku sekali lagi. Namun tetap hanya ada dinding-dinding yang menjawabku bisu.

Mungkin lebih baik aku menelepon. Tega sekali mereka pergi dan meninggalkanku sendirian. Aku meraih telepon dan sekali lagi mengeluh. Sepertinya teleponku rusak karena menampilkan hari yang salah. Saat aku hendak menekan tombol, aku terpaku. Menatap jam digital di lemari.

Bukan jamnya. Tapi tanggalnya.

Aku memandang bergantian tanggal di jam dengan yang tertera di layar telepon. Aku beralih melihat jam dinding di dapur. Jam dekat TV. Semua jam. Keherananku memuncak dan mulai menekanku. Aku menyambar ponselku dan melihat kalender. Tidak mungkin. Pasti semuanya salah.

Tidak mungkin.

Aku segera berlari ke ruang keluarga dan menyalakan TV. Liputan pagi. Sang presenter tersenyum seolah sedang menyambutku. “... selamat pagi. Berjumpa dengan saya, Elva Yuniar, di Liputan Pagi edisi Minggu, 11 Oktober 2009. Hari ini berita utama kami...”

Aku terhenyak. Mencoba memercayai apa yang kulihat dan yang kudengar. Mencoba memahami apa yang terjadi. Bagaimana bisa aku tidur di tanggal 9 dan terbangun di tanggal 11?!!

...untuk sesaat aku termenung. Selanjutnya jantungku membeku.

Lalu....lalu....lalu apa yang terjadi di tanggal 10?

Aku gemetar.

****

18 Maret 2008 03:46

Langit hitam pekat, tidak menyisakan ruang untuk seberkas cahaya bulan sama sekali. Deru angin kencang menggoncang pepohonan. Halilintar berdentum turun seolah hendak mengoyak apapun yang disambarnya. Dalam beberapa detik hujan lebat disertai badai turun merajami semua yang di bumi.

Dafa tersentak bangun dari tidurnya dan segera bangkit. Ia berlari menuju kamar di sebelahnya. Kedua orangtuanya tiba bersamaan dengannya, dan mereka segera membuka pintu. Seorang gadis tengah meringkuk di bawah mejanya dengan wajah pucat ketakutan. Ia mencengkeram lututnya sendiri hingga kuku-kukunya menggores pahanya. Rambutnya yang panjang kusut berantakan, menjuntai menutupi setengah dari wajahnya. Mendadak sebuah halilintar menyambar. Mata Kila berkilat dan ia berteriak histeris.

Dafa segera berlari meraih gadis itu dan memeluknya erat-erat. “Kila, dengarkan aku, Kila...Kau baik-baik saja... kau baik-baik saja....”

Kila tetap menggigil. Halilintar itu....deru angin.....badai....... Setelah itu, dia....sebentar lagi dia akan datang untuk menyeretku. Memukulku lagi dengan tongkat..... Tubuh Kila berguncang semakin hebat. Dia akan datang...untuk menyiksaku lagi...Dia datang...!!!

Sang Ibu menahan air matanya seraya mengambil botol dan suntikan di dalam lemari. Namun tangisnya tetap pecah tak tertahankan. Sang Ayah ikut memeluk Kila erat-erat, menahan berontakan gadis itu. “Dia sudah tidak ada, nak. Tidak ada yang akan melukaimu lagi... orang jahat itu sudah diusir.”

“Pia!!” seru Mama di dalam isaknya. “Pia,...tolong kami...penyakit Kila kambuh!!”

Pia balas menatap keluarga itu dengan sedih. “Aku tidak bisa melakukan apapun. Dulu saat Kila masih tinggal dengan mama kandungnya, setiap kali hujan dan halilintar datang, penyakit schizofrenia mamanya selalu kumat, dan ia mulai menyiksa Kila. Peristiwa itu terjadi bertahun-tahun dan mengguncang jiwa Kila yang masih kecil. Walaupun sekarang Kila diadopsi dan tinggal bersama kalian, saat hujan turun, ia selalu kambuh dan aku tidak bisa mencegahnya.” Katanya lirih. “Kita hanya bisa menenangkannya dengan suntikan penenang.”

Masih dalam tangisan, sang Mama menyuntik lengan Kila. Beberapa detik kemudian, gadis itu berangsur tenang dan tertidur. Wanita paruh baya di dekatnya menangis tersedu-sedu. Walaupun ia bukan mama kandung Kila, namun ia telah menganggap gadis itu sebagai anaknya sendiri.

“Mau sampai kapan ia seperti ini terus?” katanya sedih.

Dafa yang masih memeluk Kila, beralih pada mamanya. Matanya pun berkaca-kaca. “Sabar Ma, walaupun Tante Syl bilang keadaan Kila dan Syela sangat parah, tapi suatu hari mereka pasti akan sembuh. ”

“Mungkin kita harus menjelaskan pada Elois tentang Kila, Pia dan Syela.” Kata Ayah seraya menatap keluarganya dengan sendu.

Dafa menggeleng.

“Elois tidak akan mengerti, Pa, dia tidak akan pernah bisa mengerti. “

****

11 Oktober 2009 06:54 – Elois Purnadjaja

Di dalam taksi, aku mencoba menghubungi ponsel semua orang. Papa, mama, Dafa, Neysa, Virla, dan teman-temanku yang lain, namun tidak ada satu pun yang menjawab ataupun membalas SMS-ku. Ke mana perginya semua orang?! Mengapa mendadak semuanya lenyap tanpa sisa dan meninggalkanku sendirian dalam keheranan atas apa yang terjadi??

“Hmm...Pak,” kataku ragu-ragu. “hari ini tanggal berapa ya?”

Supir taksi berpikir sebentar dan kemudian menjawab, “Tanggal 11 Oktober, Neng, ini hari Minggu.”

Aku kembali terhenyak lemas. Hari ini benar-benar tanggal 11! Bagaimana bisa aku melewatkan tanggal 10?!

“Neng sedang sakit ya? Wajahnya pucat sekali.” Ujar supir taksi dengan logat sopan.

“Oh, iya, Pak. Saya memang sedang kurang enak badan. Kepala saya sakit sekali. Mungkin kurang tidur.” Tentu saja wajahku pucat, aku baru saja mendapatkan fakta bahwa hidupku hilang satu hari. Seolah-olah aku memilih untuk melewatkan satu hari, dan hari itu terisi tanpa kendaliku.

Taksi yang kunaiki berhenti di depan rumah Lanny. Sahabatku itu tengah duduk di beranda. Perlatan barbeque dan tas kopernya sudah siap di sebelahnya. Aku bisa menebak isi tasnya tanpa harus membuka, pasti penuh dengan makanan dan cemilan. Ia tengah menelepon dan terlihat sangat emosi. Saat taksiku mendekat, aku bisa mendengarkan suaranya yang cukup keras. Ia sedang marah, dan belum pernah kulihat wajahnya sampai semerah itu.

“...aku tidak mau dengar lagi, OK? La, aku sudah sangat muak dengan perilakunya yang aneh itu!! Kadang-kadang baik, tapi tiba-tiba berubah sinis. Aku benar-benar tidak mengerti. Kau ingat kan dulu waktu kita baru masuk SMA, mendadak di aula olahraga, dia mendorongku sampai jatuh. Bahkan ia memakiku dengan kasar?! Kemudian tiba-tiba ia menatapku bingung dan langsung meminta maaf. Sudah kubilang Elois itu aneh, La...”

A....A....AAKU? A-AKU ANEH? Kenapa Lanny bisa bicara seperti itu? Waktu itu, aku hanya tidak sengaja menyenggolnya, dan aku tidak pernah memakinya!!

Aku membeku di dalam taksi. Ingin keluar, namun kejanggalan semuanya menahan kakiku. Aku memeluk tasku seraya terus mendengarkan percakapan Lanny, tanpa menghiraukan tatapan heran supir taksi.

“....bukan cuma itu, Virla. Kau masih ingat, saat mendadak ia hilang dan kita menemukannya tengah menangis histeris di gudang tanpa alasan yang jelas. Bahkan saat itu dia tidak bisa bicara sama sekali....” Lanny terus-menerus bicara tanpa memberi kesempatan Virla untuk bicara. “Dan kemarin! Kemarin tiba-tiba saja dia marah-marah padaku bahkan mengataiku. Padahal aku hanya konfirmasi acara barbeque party kita. Tapi si Elois aneh itu berbalik membentakku!!”

Kemarin aku membentaknya?!! Tidak!! Aku tidak pernah membentaknya!! BAHKAN AKU TIDAK MENGALAMI TANGGAL SEPULUH OKTOBER!! YA TUHAN... APA YANG TERJADI SEBENARNYA?!!! Kenapa semuanya terlihat aneh? Kenapa hidupku seperti abnormal? Kenapa aku sering berada di tempat yang asing? Kenapa aku kadang menemukan diriku tengah menangis? Kenapa...?

Aku menunduk dan merasakan emosi berkecamuk dalam diriku. Sejak aku tinggal di panti asuhan pun, aku memiliki pertanyaan yang tidak pernah dijawab. Ibu panti bahkan keluargaku yang sekarang pun tidak bisa menjelaskannya. Aku tidak mengerti mengapa aku sama sekali lupa dengan asal-usulku. Aku hanya ingat aku tiba-tiba berada di panti asuhan saat berusia sembilan tahun. Aku tidak tahu mama asliku, dan bahkan aku tidak ingat berapa nilai matematikaku saat kelas satu SD. Keberadaanku di dunia ini seolah-olah instan, dan aku sulit memahaminya.

Apa yang salah dengan diriku?

“...sebentar La, ada telepon dari Neysa,” kata Lanny saat ponselnya yang satu lagi berbunyi. “......halo Sa, ada apa? ....”

Lanny akhirnya terdiam sebentar mendengarkan Neysa. Beberapa detik kemudian, wajahnya berubah. Matanya melebar dan ia tersentak berdiri. “ASTAGA!! OK, aku akan ke sana!!”

Ia beralih pada ponselnya yang masih tersambung dengan Virla seraya segera berhambur ke mobilnya. “Elois dan omanya kecelakaan!!!........tadi Neysa meneleponku, katanya omanya Elois koma di RS Medika, tapi dia tidak tahu bagaimana keadaan Elois!!...” selanjutnya Lanny menutup pintu mobilnya dan suaranya tidak bisa kudengar.

“K..kecelakaan...?” aku mulai gemetar. Aku dan oma kecelakaan? Tapi aku baik-baik saja di sini....aku memang mengalami sakit kepala, tapi aku baik-baik saja!! Aku mulai berspekulasi.

.....jangan-jangan hanya aku yang selamat dari kecelakaan itu, dan oma.....ASTAGA!!

Panik. Aku berteriak. “RS MEDIKA, PAK!! SEKARANG!!!”

****

11 Oktober 2009 07:57 – Elois Purnadjaja

Dafa tidak bisa menahan emosinya. Wajahnya sayu dan kelabu. Ia telah menangis sejak tadi subuh hingga kelelahan. Dafa, Mama, dan bahkan Papa bahkan sudah tidak bisa menangis lagi. Mataku berkaca-kaca melihat mereka begitu rapuh. Air mataku jatuh dan satu tetesan lagi membasahi pipiku. Rasanya aku ingin memeluk mereka erat-erat, namun kakiku membeku dan lidahku kaku. Aku hanya dapat menatap hampa orang-orang yang kucintai.

Lima belas menit yang lalu, aku sampai ke rumah sakit dan segera mencari keluargaku. Mereka tengah berada di sebuah ruangan. Namun aku hanya menemukan kedua orangtua angkatku. Aku mendekat untuk melihat. Oma tengah terbaring lemah dengan luka di kepala dan lengannya. Hidungnya dimasuki selang oksigen, dan EKG menunjukkan denyutnya sesekali. Hatiku trenyuh melihat keadaannya. Perlahan kulangkahkan kakiku ke dalam ruangan. Namun kedua orangtuaku tidak menghiraukanku. Aku memanggil mereka, namun tidak ada yang menoleh.

Aku pergi keluar ruangan dan menyusuri lorong rumah sakit untuk mencari Dafa. Dan aku menemukannya. Di ruangan lain yang tidak jauh dari ruangan oma. Para sahabatku juga berada di dalam. Dafa tengah duduk di kursi, di dekat sebuah ranjang. Ia tengah menggenggam tangan seseorang. Aku melangkah lagi untuk melihat lebih jelas. Seorang gadis tengah terbaring kaku berselimut putih.

Itu aku. Itu tubuhku.

Nonsense!!

Aku segera berhambur menubruk Dafa. Mengguncang-guncang bahunya. Namun aku tidak bisa menyentuhnya. Aku berteriak memanggilnya. Dafa! Neysa! Virla! Lanny! Siapapun!! Aku belum mati!! LIHAT!! AKU DI SINI!! AKU BELUM MATI!!

Tidak ada seorangpun yang menghiraukanku. Mereka masih menangis dan terpaku sendu memandang jasadku yang terbaring tanpa daya. Saat itulah aku tahu. Dengan gemetar, aku menyentuh tubuhku. Matanya terpejam tenang, dan aku tahu dia tidak akan terbangun lagi. Rasanya seluruh diriku hancur. Aku menutup mulutku dengan tangan sambil terisak. Aku hanya melewatkan satu hari, namun hari itulah yang membunuhku.

“...kemarin, Elois pergi berbelanja dengan oma. Dan seharusnya setelah itu, ia ada janji bertemu dengan Tante Syl. Namun, saat supir turun untuk membukakan pintu, Elois mendadak pindah ke kursi stir dan melarikan mobil. Aku berusaha mengejarnya, namun....” kata Dafa pelan. Ia terlihat sangat terpukul saat mengingat kejadian itu. “.....aku terlambat. Truk itu menabrak mereka, tepat di depan mataku....”

“Ta-tapi Elois tidak bisa menyetir mobil....” ujar Virla terbata-bata. “Kenapa dia melakukan hal itu? Kenapa dia harus kabur?”

Dafa menghela napas lagi. “Itu bukan Elois. Tapi Syela.”

Syela? Syela? Nama itu sering sekali diucapkan Tante Syl... Dafa bilang itu nama teman almarhum putri Tante Syl. Apa maksudnya?

Dafa memandang sahabatku dengan berat hati, namun aku tahu sebentar lagi aku akan mengetahui kebenarannya. “Nama Elois sebenarnya adalah Kila. Saat Kila kecil, ia sering disiksa oleh mamanya yang schizofrenia. Di usianya yang ke-sembilan, mamanya dipenjara karena berniat membunuh tetangganya, sedangkan Kila ditempatkan di panti asuhan. Penyiksaan yang dialaminya menyebabkan jiwa Kila terguncang, dan psikisnya terganggu. Waktu berlalu, dan kepribadiannya terpecah. Jiwa Kila kecil terkunci dalam dirinya, sementara kepribadian lain berkembang lebih dominan. Itulah Elois yang selama ini kita kenal. Dialah yang kami adopsi, dan dialah yang bersekolah bersama kalian.” Kata Dafa masih dengan suara lirih. “.......namun yang hidup di dalam tubuhnya bukan hanya dia saja. Kepribadian lain memunculkan Pia, seorang wanita berusia pertengahan tiga puluh yang bijak dan paling pengertian di antara kepribadiannya yang lain. Pialah yang sering berkomunikasi dengan Tante Syl-psikolognya, karena hanya dia yang dapat mengetahui apa yang dilakukan kepribadian lain. Sedangkan Syela, dia serpihan kepribadian yang paling liar. Dia brutal, pemberontak, kasar, egois. Syela ingin menguasai tubuh Elois sepenuhnya. Karena itu, setiap kali akan bertemu Tante Syl, Syela sering kambuh dan melakukan apa saja agar janji pertemuan itu gagal. Dia tahu, Tante Syl berusaha mengobati Elois dan mengikis kepribadiannya yang lain. Syela tidak ingin tersingkir dari tubuh itu.”

Dafa memandang jasadku yang terbujur kaku dan menggenggam tanganku erat-erat. “Elois mengidap Multiple Personality Disease atau kepribadian ganda.”

Tubuhku lemas dan aku jatuh lunglai. Aku memiliki banyak kepribadian?!! Jadi....karena itulah....selama ini aku tidak bisa mengingat apapun tentang masa kecilku. Karena itulah aku sering menemukan diriku di suatu tempat tanpa tahu bagaimana caranya aku berada di sana...

....karena aku mengidap MPD......

Aku dapat membaca keterkejutan yang sama di wajah sahabatku.

“.....jadi.....yang waktu itu menangis di gudang sekolah.... dan ...yang memakiku kemarin.....” Lanny terbata.

Dafa mengangguk pelan. “...setiap kali hujan petir datang, Elois berubah menjadi Kila dan menangis histeris. Ia tidak bisa mengendalikan kemunculan kepribadian lain. Bahkan dirinya sendiri pun tidak bisa mengatur kapan ia menjadi Elois. Kemarin kepribadian Elois sama sekali tidak muncul. Saat pagi, dia bangun dengan kepribadian Pia. Mengikuti ujian terakhir, mengumpulkan tugas, dan berbelanja syal dengan oma. Namun saat hendak turun dari mobil, Syela muncul dan melarikan mobil dengan kecepatan tinggi hingga kecelakaan.” Dafa menatap langit-langit dengan hampa. “.....dulu, aku yakin suatu hari nanti Elois akan selamanya menjadi Elois. Harapan itu selalu ada setiap kali aku bangun pagi dan menemukannya tengah menggosok gigi di toilet. Ia tersenyum padaku dan mengucapkan selamat pagi. Di pagi yang lain, aku ingat dia mengejekku karena tim sepakbola andalanku kalah di pertandingan melawan tim andalannya........” mata Dafa berkaca-kaca namun ia tersenyum. “Aku selalu berharap bisa menikmati cangkir kopi panas bersama Elois saat hujan besar datang, dan bukannya bersama Kila. Aku selalu berharap bisa memilihkan baju untuknya saat berbelanja dan tidak bersama Syela liar yang shopaholic. Aku selalu berharap. .....namun sekarang, ia meninggalkanku. Bahkan ia pergi dengan membawa semua harapan yang kukumpulkan bertahun-tahun.” Ia memandang tubuhku yang kaku. “......ia pergi begitu saja...”

Dafa........

Aku memejamkan mataku dan menangis tanpa suara.

Andai aku tidak memiliki kepribadian Syela. Andai aku bukan pecahan kepribadian Kila. Andai aku tidak memiliki MPD, saat ini aku pasti masih bisa memeluk Dafa. Memeluk orangtua angkatku. Memeluk sahabatku. Dan mengatakan bahwa aku mencintai mereka.

Beberapa suster melangkah masuk dan mengatakan akan memindahkan tubuhku ke rumah duka. Dafa menghapus air mata yang ada di wajahnya dan berdiri membiarkan mereka lewat. Sebelum mereka membawa tubuhku, Dafa masih sempat menyelipkan secarik kertas kecil ke tanganku yang dingin. Saat para perawat mendorong ranjangku keluar dari kamar, kertas itu jatuh. Aku memungutnya dan membacanya perlahan...

Maybe you're still here
I feel you all around me
Your memory's so clear
Deep in the stillness
I can hear you speak
And you are watching over me from up above
Fly me up to where you are
Beyond the distant star
I wish upon tonight
To see you smile
If only for awhile to know you're there
A breath away's not far
To where you are

....andai diriku hanya memiliki kepribadian Elois seorang,

....aku masih punya kesempatan untuk mengatakan bahwa aku mencintainya...

ÒÒÒÒÒÒ

Tidak ada komentar:

Posting Komentar