Writing is a solitary occupation. Family, friends, and society are the natural enemies of the writer. He must be alone, uninterrupted, and slightly savage if he is to sustain and complete an undertaking. (JESSAMYN WEST)
Search
Sabtu, 27 Maret 2010
bad Mood...
Senin, 22 Maret 2010
today
Selasa, 02 Maret 2010
KADO BUAT TUHAN
Kata orang-orang, natal itu ulang tahun Tuhan. Pada natal tahun lalu, aku ingin sekali memberi kado dan membuat Tuhan senang. Tapi aku bingung, kira-kira kado apa yang cocok untukNya.
Aku dan kakakku selalu bertengkar, karena berebut barang atau dia tidak mau main bersamaku. Mama dan papa sering marah kalau kami mulai bertengkar. Kata papa, Tuhan sedih kalau kami ribut, jadi aku dan kakak harus rukun dan damai. Aku tidak mau membuat Tuhan sedih, tapi tetap saja aku sering ribut dengan kakak, habis dia nakal!!
Suatu hari, di TV aku melihat banyak sekali orang berlari sambil membawa kayu, ada yang melempar batu, ada juga yang sedang berkelahi. Aku mendengar suara tembakan, teriakan, pokoknya mengerikan sekali! Di pinggir jalan ada orang sedang terbaring, kepala dan wajahnya penuh darah. Kaca-kaca toko pecah, orang-orang mendobrak pagar, dan membakar mobil. Aku jadi takut sekali melihatnya. Tiba-tiba mama datang dan saat melihatku, ia segera mematikan TV.
"Yang namanya perang seperti itu, Ma?" tanyaku.
“Iya, bahkan bisa lebih parah,"
"Ih, seram?! Kok bisa muncul perang?" tanyaku lagi. Kata mama, penyebabnya bisa macam-macam. Bisa karena saling iri, egois, atau perbedaan pendapat.
"Kalau perang saudara itu apa?" dulu aku pernah mendengar kakak sedang belajar sejarah tentang perang saudara.
"Itu artinya perang antar saudara. Bisa kakak dengan adik, paman dengan keponakan, dan lain-lain. Biasanya mereka berebut kekuasaan atau tahta," kata mama. "awalnya bertengkar, lama kelamaan jadi perang."
"Berarti seperti aku dan kakak, bertengkar terus. Nanti bisa jadi perang?"
"Ya tidak," kata mama sambil tersenyum. "asal kamu sama kakak akur, tidak bertengkar lagi. Kakak itu sebenarnya sayang sama kamu, nah kamu juga harus sayang sama kakak. Jangan bertengkar terus."
Aku janji tidak akan membuat kakak kesal lagi. Aku tidak mau ada perang saudara ataupun tawuran yang tadi ada di TV. Aku juga mau bilang sama teman-teman yang lain supaya damai dengan saudaranya. Kalau semua orang damai sama saudaranya, tidak akan ada perang di dunia ini. Tapi kata mama, bukan hanya damai dengan kakak atau saudara saja, tapi juga dengan tetangga, teman, dan semua orang. Semua masalah dan perbedaan pendapat kan pasti bisa diselesaikan dengan cara selain kekerasan.
Aku ingin sekali bisa melihat semua orang rukun, setiap orang bisa jalan-jalan keluar rumah tanpa rasa takut, tidak ada tembak-tembakan, tidak ada darah, ataupun keributan. Mama juga bilang untuk mencapai itu semua harus dimulai dari tiap orang. Kalau setiap orang di dunia ini mau menghormati satu sama lain, pasti dunia bisa hidup damai dan tenang, tidak ada kekerasan ataupun ketakutan. Kata papa, Tuhan akan senang kalau dunia ciptaanNya rukun dan tenteram.
Ah, mulai besok aku akan menjalankan misi mendamaikan dunia!! Langkah pertama, aku akan minta maaf sama kakak. Dan kalau dunia sudah damai, aku akan memberikannya pada Tuhan sebagai kado ulang tahun!!
Sepasang Sepatu Balet
Seorang gadis tersudut di dalam gelapnya lemari, sekelam hidup dan air matanya. Setiap cercaan dan hinaan menyayat lukanya lebih dalam lagi. Lebih bau dari telur yang dilemparkan kepadanya. Lebih busuk dari apel berulat yang mereka taruh di dalam tasnya.
Seorang gadis terpuruk di dalam gelap locker sekolahnya. Mendekap sisa – sisa reruntuhan yang pernah menjadi istana impiannya. Sepatu balet yang hanya satu – satunya, dipeluknya. Kusam dan koyak. Sekoyak hatinya yang kini tanpa asa. Gelap. Kelam. Pendaran di ujung lorong itu seolah lenyap entah ke mana.
Seorang penari balet di kotak mainannya berhenti menari.
Menyerah dan menangis.
Terluka.
Mati.
Lewat lubang angin di pintu locker, ia masih bisa melihat mereka. Yang membuatnya bersembunyi selama istirahat ataupun sepulang sekolah. Yang mengambil tasnya dan mengoper – operkannya ke yang lain. Yang menertawai bola matanya yang berbeda. Para gadis memasukkan selai basi ke dalam sepatu baletnya dan membuangnya ke selokan. Mereka yang menertawai impiannya menjadi seorang balerina.
Ia pernah berjanji pada ibunya untuk menjadi seorang penari balet yang cantik dan anggun. Menari disinari lingkaran halo dengan lemah gemulai. Bak seorang malaikat yang terbang dari sisi panggung ke sisi lainnya. Mengikuti alunan nada lembut dan hangat. Memberikan putaran terbaiknya di hadapan para penonton dan tersenyum saat berhasil melakukannya dengan sempurna.
Ia pernah berjanji hal itu pada ibunya.
Dan gadis itu menangis lagi mengingatnya.
Itu janji terakhir yang didengar ibunya. Tepat sebelum meninggal.
Ia berusaha keras belajar dan berlatih. Tidak perduli ujung kakinya bengkak ataupun pergelangannya yang terkilir. Tanpa menghiraukan seperih apa luka jatuhnya, ia tetap berlatih sebaik yang ia bisa untuk menjadi seorang ballerina. Namun, ……nilainya tetap yang terburuk dan ia selalu dikeluarkan dari setiap sekolah balet yang diikutinya. Semua orang menyebutnya tidak berbakat dan lebih baik berhenti mencoba.
“Kenapa sih kau tidak pernah bisa berputar dengan sempurna??!”
“Selalu, selalu, dan selalu. Kau selalu mengacaukan formasinya!!”
“Kau penari terburuk yang pernah kulihat dalam hidupku!!”
Kau tidak akan pernah berhasil menjadi ballerina, Ally.
Seorang gadis kurus mungil tanpa daya meringkuk di pekatnya ruangan sempit. Menyalahkan dirinya atas semua cercaan yang menghampirinya. Mengapa ia tidak seberbakat Lora atau seluwes Karin?!! Ia berlatih jauh lebih lama dan lebih giat dibandingkan mereka!! Mengapa mereka yang mendapat kesempatan dalam konser utama?!! Mengapa mereka selalu merendahkanku?!! AKU TELAH BERUSAHA DENGAN KEKUATAN TERBAIK YANG KUMILIKI!! KENAPA MASIH SAJA AKU…G..A..G..A..L..!!
Terdengar keributan di luar sana. Perlahan ia mengintip untuk melihat keluar. Mereka menemukannya. Para gadis dan orang – orang itu menunggunya di depan locker sambil tertawa puas. Mereka yang merasa menjadi penguasa sekolah dan yang terhebat, memukul – mukul lemari dan menyuruhnya keluar.
Sang gadis gemetar di balik pintu besinya. Ia meringkuk ketakutan seraya menangis memeluk sepatu balet kusamnya. Sebelum meninggal, ibunya memberikan sepasang sepatu itu padanya, untuk dipakai suatu hari nanti di sebuah panggung yang bercahaya. Hanya dua buah sepatu belel yang bahkan tidak pernah cocok berada di lantai kayu mengkilap. Karena itulah mereka membuangnya. Bagi mereka, itu hanyalah sebuah sampah.
“Keluar Ally!! Jangan cengeng begitu, penari gagal!! Ayo keluar!!” lebih banyak lagi pukulan di pintu. Suara – suara itu begitu menakutkan, membuatnya tidak bergerak. Ia mendekap sepatu itu lebih keras lagi. Tolong aku, ibu…..tolong aku…..
Pintu itu terbuka. Mereka mencongkelnya.
Para gadis itu menariknya keluar. Namun Ally tetap meringkuk di dalam, membuat mereka memaksanya lebih keras lagi. Gadis itu jatuh ke lantai. Disambut tawaan dan ejekan. Mereka mengambil tasnya dan mengisinya dengan cicak hidup. Seorang gadis lain melihat sepatu yang dipeluk Ally dan berusaha merampasnya.
Ally memeluk sepatunya lebih erat lagi. “Jangan…., kumohon,….jangan….”
Para gadis itu tidak perduli. Beberapa dari mereka menahan Ally sementara Lora, si ballerina handal merampas satu – satunya harta gadis malang itu. Mereka menertawai sepatu itu dan Ally secara bergantian. Gadis itu terkulai tidak berdaya, menatap dengan lemah saat mereka menyayat sepatu baletnya.
Sepasang sepatu balet ibunya.
“…..jangan, kumohon…..jangan….jangan….” tangannya berusaha menggapai miliknya yang paling berharga. Itu kenangan terindah bersama ibunya. Itu sebuah janji terakhirnya pada sang ibu.
Lora tertawa puas bersama teman – temannya menikmati tatapan terkulai lemah itu. “Seorang gadis juling tidak berbakat sepertimu…..” ia menunduk dan melontarkan kalimat itu di depan wajah Ally. “…..lebih baik memiliki sepasang sepatu balet yang seperti ini! “ Lora meludahi sepatu di tangannya kemudian melemparnya.
Mereka pergi. Hanya tersisa seorang gadis dengan tangisan lukanya yang teronggok di tengah lorong sekolah. Dingin dan sepi. Perlahan ia meraih sepatu balet miliknya yang telah koyak, mendekapnya. Menangisi impiannya yang telah hancur, sekoyak sepatu itu. Air matanya bergulir satu satu, menampakkan luka yang telah begitu dalam. Membusuk ngilu. Angin bertiup kencang menyusuri lorong, melewatinya dengan dingin meniup hilang setiap harapannya.
Hilang entah ke mana.
Joel mungkin akan mengunjunginya hari ini dan melihat tempat barunya. Jadi dia memutuskan untuk membereskan semuanya. Para pakaian dan pajangan sudah berada di tempatnya. Kos barunya lengkap dengan segala perlengkapannya yang telah tertata rapi. Dan sebagai tetangga yang baik, saatnya menyapa teman di sebelah kamar. Aleeta melangkah menuju pintu sebelah kamarnya, sekaligus siapa tahu mereka bisa makan siang bersama.
Ia mengetuk pintu kayu polos dan memikirkan kata sapaan apa yang sebaiknya ia lontarkan untuk pertama kali. Apa sebuah ‘ hai’ sudah cukup? Atau …….’halo, apa kabar? Aku temanmu yang baru, namaku Aleeta, siapa namamu?’……yang benar saja, itu terdengar seperti seorang anak TK menyapa temannya.
Aleeta mengetuk sekali lagi. Tidak ada yang menyambutnya dari balik pintu itu. Apa teman sebelah kamarnya tengah keluar?? Aleeta mengurungkan niatnya dan hendak kembali ke kamarnya tepat saat terdengar samar – samar suara dari ruangan itu. Ia menyapa dan menanyakan apa dia boleh masuk. Pintu itu ternyata tidak terkunci dan tersenggol hingga terbuka. Perlahan Aleeta melongok masuk dan kembali menyapa.
Ruangan itu sangat berantakan. Seprainya kusut dan menjuntai ke lantai. Pakaian berhamburan keluar dari lemari. Rak – rak buku dipenuhi berbagai barang yang tidak rapi. Wah, mama bisa cerewet nih, kalau kamar putrinya seperti ini, pikir Aleeta. Ia kembali memandang di sekitarnya. Majalah dan buku berserakan di lantai. Poster di dinding tergantung miring. Ada apa sih??
Kemudian ia menemukannya.
Gadis itu di sana. Duduk di sebuah sofa oranye , menunduk. Rambut panjangnya kusut tidak beraturan. Aleeta tertegun menatapnya. Sedikit ketakutan namun ia ingin tahu apa yang telah terjadi. Perlahan ia melangkah mendekat, namun tidak dihiraukan. Hingga akhirnya sebuah pemandangan mengerikan itu tampak jelas. Cairan merah kental menetesi sofa oranye, turun dari jarinya. Gadis itu tengah menyilet- nyilet lengannya!!
“Ya Tuhan !!!” pekik Aleeta saat tersadar. Ia segera menghampiri gadis itu dan merebut silet dari tangannya. Dia tidak melawan, hanya memperdengarkan tangisan pilu seraya menunduk dalam – dalam.
“Apa yang sedang kau lakukan?!” seru sang tetangga baru dengan cemas. Gadis itu tidak menjawab dan terus menangis.
Aleeta berusaha mencari jawaban dengan kembali memandang ruangan berantakan itu. Sangat berantakan. Seolah – olah telah terjadi perampokan atau tindakan kriminal. Jangan – jangan gadis itu baru saja diperkosa??!! Di tengah pikirannya yang berkecamuk mencari jawaban, ia menangkap sesuatu dari ruangan itu. poster, hiasan, majalah, semuanya tentang balet.
Kemudian ia menemukannya.Sepasang sepatu balet kusam dan sobek. Sepertinya dirusak atau disayat dengan benda tajam. Kedua tali karetnya putus dan sepatu krem itu berlubang di mana – mana. Benar – benar mengerikan. Tidak dapat dipakai. Hanya tinggal menunggu waktu untuk dibuang.
“….me-mereka menyayatnya…..mereka merusaknya….” Untuk pertama kalinya Aleeta mendengar suara meluncur dari bibir gadis itu. lirih. Gemetar. Ketakutan. Gadis itu mengangkat wajahnya. Ada yang berbeda dengan tatapannya. Ia juling.
Namun saat Aleeta memandang kedua bola mata di hadapannya, ia merinding saat melihat apa yang terlihat di sana. Sebuah luka yang menganga besar, dilingkupi kegelapan dan kekelaman. Begitu mengerikan seperti mimpi yang terburuk. Belum pernah ia melihat tatapan sesakit itu.
“…sepatu itu….”
Gadis itu menunduk dan kembali menangis. “….bukan hanya itu…mereka menghancurkan semuanya…..impianku menjadi seorang ballerina. Gadis – gadis itu …..menyayat sepatu baletku…….sepatu yang diberikan ibuku….aku berjanji padanya…aku telah berjanji padanya, aku akan menjadi seorang ballerina. Menari anggun di panggung yang bersinar….ia mendengar janjiku….” Setiap kata diucapkannya dengan terpatah - patah. Aleeta merasakan hatinya dipenuhi perasaan pilu dan tiba – tiba matanya berkaca – kaca. Seolah ia dapat merasakan sakit hati yang menyelubungi sosok di hadapannya. “ ….tepat sebelum ia pergi…..ia mendengarku….” Tangisnya semakin keras. Kata – kata yang diucapkannya semakin terpatah – patah. “…..ibuku pergi sambil membawa janjiku….ia membawanya…”
Aleeta menangis bersamanya. Tidak perduli ini kali pertama ia bertemu dengan gadis itu. tidak perduli ia sama sekali belum mengenal sosok itu. Tapi saat mendengar tangisannya, Aleeta merasa ingin tetap di sampingnya. Mengetahui apa yang menimpanya.
“Mereka terus – menerus mengejekku…..mempermainkanku. menaruh cicak ke dalam tasku ataupun melempariku dengan telur busuk. Mereka menghina mataku yang juling dan menjadikannya olokan sepanjang hari…...” Suaranya menghilang untuk beberapa detik. Hening. “Tapi, mereka memang benar……aku memang tidak berharga….aku tidak pernah menemui titik terang ataupun harapan….semua tentangku hanyalah…..kegagalan….”
Aleeta menamparnya.Gadis di hadapannya melontarkan tatapan protes seraya memegangi pipinya yang berdenyut – denyut nyeri.
Aleeta menangis marah. “…kau tidak tahu tentang kegagalan!!! Dan ibumu pasti tidak suka melihatmu yang sekarang. Hanya menangis dan menyerah. Cengeng!! Aku yakin, dia tidak memimpikan putrinya jadi menyedihkan seperti ini!!!”
Kali ini sepasang bola mata malang itu menatapnya tajam. Penuh kemarahan. Ia telah berusaha dengan usaha terbaiknya….!! Sekali lagi Aleeta merinding, seolah – olah gadis itu berniat melumatnya. “Diam!” gadis itu membentaknya. “kau sama sekali tidak mengerti!! Kau bahkan tidak tahu namaku!! Sebaiknya kau pergi!!!”
“Tapi…” kata Aleeta pelan.
“Pergi.” Sebuah kata terluncur dengan dingin. Menusuk.
Aleeta bangkit. Harusnya ia tidak bicara segegabah itu. Mungkin akan lebih baik kalau tadi ia hanya diam. “Aku minta maaf,” katanya pelan. “ aku akan keluar, tapi please, jangan lukai dirimu lagi,” ia berjalan mundur perlahan, memastikan silet itu berada jauh dari jangkauan si malang.
Sang tetangga baru menutup pintu sambil menyesali kesalahannya. Terutama tamparannya tadi. Dia benar – benar tidak berhak melakukannya!! Aleeta menunduk dan menghapus air matanya. Aku hanya kesal mendengar keputusasaannya!! Dia tidak mengerti apa itu kegagalan….. atau yang namanya kesialan!! Gadis itu belum mengerti apapun!!
“Lupakan saja orang itu,” terdengar suara gadis dari kamar lain. “Ally memang gila. Punya penyakit kejiwaan masochism – yang suka menyakiti dirinya sendiri. Sebaiknya kau menjauhinya, karena kau tidak pernah tahu kan kalau – kalau dia tiba – tiba menikammu dengan silet itu??!”
Aleeta tersenyum kecil pada tetangga barunya yang lain itu. Kemudian ia beringsut kembali ke kamarnya. Tepat sebelum menutup pintunya, ia memandang pintu tetangga malangnya. Tertutup rapat.
“Setidaknya sekarang aku tahu namamu, Ally,”
Joel memainkan sedotan di gelas jus alpukatnya seraya mendengarkan cerita Aleeta yang duduk tepat di hadapannya. Gadis itu baru saja pindah ke sini dan ini hari sekolah pertamanya. Tapi, Joel tidak menyangka, baru sehari, Aleeta sudah mendapat kejutan. Kira – kira sejak sejam yang lalu, Aleeta terus membicarakan seseorang bernama Ally.
“Al, aku tahu kau sangat kasihan padanya. Tapi, Ally memang tidak berbakat jadi ballerina. Aku pernah melihatnya menari, dan itu benar – benar sangat buruk.” Raut wajah Aleeta berubah dan saat sadar, Joel segera merubah omongannya. “maksudku,….hmm…aku yakin Lora dan yang lain tidak bermaksud untuk menyakitinya. Mereka hanya…..senang bermain dengannya….”
Mata Aleeta melebar, tidak percaya mendengar kata – kata itu dari Joel.
“Bermain dengannya?? Joel, yang benar saja, dong! Ally sampai menjadi seorang masochist dan melukai dirinya sendiri. Depresi dan menganggap dirinya hanyalah sebuah kegagalan. Kau masih bisa bilang itu tidak menyakitinya??” seru Aleeta kesal. “jangan – jangan menurutmu pembunuh yang kemarin ada di berita itu hanya ditangkap karena menggelitiki korbannya??!”
Joel menarik napas panjang. Sepupunya yang satu ini memang sulit dipahami. Terlalu baik memperhatikan orang lain. Bahkan kadang – kadang melebihi dirinya sendiri.
“OK, aku minta maaf. Jangan marah begitu. Kau terlihat sangat menyeramkan,”
“Kau kan termasuk salah satu orang yang berpengaruh di sekolah ini, Joel. Kenapa kau tidak mencoba untuk menghentikan mereka??”
“Hmm….akan kucoba nanti,” dari tatapannya, jelas – jelas Aleeta tidak mengharapkan jawaban ‘tidak’. Namun, gadis itu tetap tidak yakin. Joel menatap sepupu kesayangannya . “Aleeta, itu nanti akan kuurus. Kau juga harus memikirkan dirimu sendiri. Adaptasi di sekolah dan lingkungan baru terkadang merepotkan. Fisikmu lemah dan kau juga terlihat makin kurus. Wajahmu hari ini pucat sekali. Dengar Aleeta, aku sama sekali tidak mau kau sakit.”
Aleeta mengangguk mendengar sepupunya. Joel memang terkadang terlalu protektif, seperti papa saja, pikir Aleeta.
Tiba – tiba terdengar teriakan, entah dari mana. Aleeta tersentak dan berdiri. Begitu pula dengan Joel. Damn! Ia mengumpat. Lora dan yang lain pasti berulah lagi!! Apa yang harus ia lakukan?? Aleeta pasti membela Ally di hadapan teman – temannya.
Aleeta menoleh ke sekelilingnya mencari arah suara. Itu pasti Ally dan mereka!! Ia segera berlari, sepertinya suara itu berasal dari arah kelas balet. Joel memanggil sepupunya dan ikut berlari mengikutinya, sambil mengumpat.
Ally tidak berhenti menangis sejak pulang tadi. Ia terus bergelung meringkuk di sudut kamarnya. Gemetar dan ketakutan. Aleeta menatapnya iba. Mereka melakukannya lagi. Para gadis mempermainkannya seolah – olah gadis itu tidak memiliki perasaan. Saat tiba di kelas balet tadi pagi, Aleeta melihat perlakuan pada Ally dengan mata kepala sendiri. Lengkingan mereka seperti sekumpulan gadis psikopat yang gemar menyakiti perasaan orang lain. Sama seperti membunuhnya perlahan!! Dan Aleeta tidak tega melihatnya. Ia bergegas menyeruak dan menemukan Ally tergeletak di sana dengan jiwa nyaris mati. Hinaan mereka seolah – olah menggerogotinya. Lora menyapa Aleeta dengan ramah dan menawarkan apa dia mau ikut bergabung berpesta. Ally tersentak. Ternyata tetangga barunya adalah sepupu salah seorang dari mereka. Ia masih ingat bagaimana Joel ikut mengurungnya di dalam gudang sekolah. Habis sudah dia.
Aleeta menatap mereka dingin“Kalian tidak lebih dari tikus – tikus rendahan,” jawabnya tajam, kemudian beralih pada Ally dan membantunya berdiri. Lora dan para gadis lain tercengang tidak percaya mendengar kalimat tadi.
“Lihat tingkah laku tolol sepupu kesayanganmu, Joel!!” seru Lora kesal.
Aleeta yang mengantarnya pulang, dan saat ini Ally terus menangis pilu. Seragamnya masih kotor penuh kotoran. Tadi ia diarak keliling sekolah dan dilempari, entah apa saja.
“ Ally,” Aleeta mendekat dan ikut duduk di sebelahnya.
“Kenapa kau membantuku?? Kau sepupu Joel,”
“Aku baru tahu Joel ternyata brengsek!!” maki Aleeta. “Aku hanya ingin membantumu, Ally. Aku yakin ibumu pasti sedih melihatmu seperti ini…kumohon, kali ini dengarkan aku.” Katanya pelan. “mungkin aku tidak mengalami yang sepertimu. Tapi, semua pikiranmu selama ini salah. Aku tahu kau sudah berusaha sebaik mungkin. Maaf, aku harus bilang kalau usahamu itu masih bukan yang terbaik.”
Sepasang mata di depannya melebar tidak terima.
“Aku kan sudah bilang maaf,” kata Aleeta nyengir. “selama ini kau terus menerus hidup dalam cercaan dan tekanan. Semua itu membuatmu depresi dan merasa tidak berharga. Dan perasaan itu membayangimu setiap kali kau berlatih. Belum apa – apa, kau sudah pesimis dan letih karena kau percaya omongan mereka kalau kau tidak bisa.” Aleeta menunduk untuk menatap Ally. “Aku pernah baca sebuah buku yang mengatakan semua orang hidup di dunia ini untuk sebuah tujuan. Tidak ada orang yang dilahirkan sia – sia , walaupun ia tidak diinginkan oleh orang tuanya. Kau berbeda. Ibumu sangat mencintaimu, dan ia tidak sia – sia melahirkanmu.”
“Aku juga pernah mengalaminya.” Pandangan Aleeta menerawang dan mengabur. “konyol dan tidak berdaya, tidak berguna, dan terkadang kupikir dunia tidak akan berubah walaupun aku mati. “ sang tetangga baru tersenyum sambil menghapus air matanya. “tapi aku salah. Justru dengan berpikir seperti itu, aku malah meracuni diriku sendiri, sehingga lumpuh. Seperti itulah yang terjadi padamu. Cercaan itu menutup pintu bakatmu yang terpendam. Karena saat kau bilang ‘tidak bisa’, kau memang tidak akan bisa. Tapi, belajarlah percaya pada dirimu sendiri. Lupakan omongan sampah mereka. Tidak ada orang yang mengerti dirimu selain kau sendiri. Kalau kau terus mendengarkan mereka, kau tidak akan bisa berhasil. Anggap saja mereka babi – babi yang cerewet, entah bicara apa. Kau pasti bisa kuat dan berhasil melakukannya. “ Aleeta kembali beralih pada Ally dan tersenyum pada wajah pucat itu.
“Percayalah pada dirimu, ……dan impianmu. Bagi ibumu, kau sudah seorang ballerina anggun, dan ia pasti bangga padamu.” Aleeta ingin menangis saat mengatakannya. Mengenang saat – saat di mana ia berusaha bangkit dari kegelapannya sendiri. Ia merangkul Ally. “…..kau berharga, Ally, kau berharga….”
Ally menunduk. Namun sesaat kemudian menepis lengan Aleeta. Aku tidak percaya!! Jangan menghiburku !! aku memang ballerina gagal yang konyol, dan sudah saatnya aku sadar akan hal itu!! impian hanyalah sebongkah sampah omong kosong. Hidup di dunia hanyalah bicara tentang siapa yang kuat dan yang lemah!! Tidak ada rumus seseorang itu berharga!!!
Aleeta memandang Ally dengan sedih. Gadis itu telah membuat keputusan terakhirnya. Membunuh jiwanya sendiri.
Entah telah berapa lama ia tertidur. Kepalanya terasa pusing dan matanya sangat bengkak. Tubuhnya lemas dan lengan yang ia iris dengan silet masih terasa ngilu. Ia bangkit dan terkejut. Heran, ia melangkah mengelilingi kamarnya. Tidak ada lagi bantal di dekat toilet. Pakaian dan buku telah berada di tempatnya masing – masing. Lukisan ballerina di dinding tidak lagi miring. Semuanya telah tertata rapi. Apa yang terjadi??!!
Kemudian ia melihatnya. Sang tetangga baru tertidur di mejanya. Lingkaran matanya menghitam. Dia yang membereskan semuanya?? Belum hilang keheranannya, Ally tertegun saat melihat sesuatu di sebelah lengan Aleeta. Dua pasang sepatu balet. Yang satu baru dan mengkilap, apa Ally yang membelikannya?? .Dan yang satunya………ya Tuhan…..itu sepatu baletnya. Tali karet beserta lubang – lubangnya telah terjahit dengan baik. Bagian luarnya sangat bersih, begitu pula dengan dalamnya. Sepasang sepatu itu kembali bersinar seperti saat ia menerimanya dari ibunya. Matanya nanar.
Aleeta menggeliat bangun, dan samar – samar menemukan Ally tengah mengamati sepatu baletnya. Ia tersenyum dan sesekali menguap, bekerja semalaman kemarin cukup melelahkan, tapi ia lakukan dengan semangat. Inilah usaha terakhirnya.
Ally menatap tetangga barunya yang baru bangun. Senyum Aleeta mengingatkannya pada seseorang. Ibunya. Senyum itulah yang pernah menghiburnya. Menguatkannya saat ia jatuh. Wajah ibunya terlukis pada Aleeta. Ally menangis dan spontan memeluknya. Sedikit terkejut, namun Aleeta tersenyum. Ia berhasil.
“Aku akan menangis bersamamu, apapun yang terjadi, aku akan menangis bersamamu. “
Ally menampar Aleeta, membuat sang tetangga baru bingung.
Ally tersenyum lebar – untuk pertama kalinya. “Anggap saja ucapan terima kasih, sekaligus balasan untuk yang dulu,”
Kejadian itu seolah – olah menjadi titik balik dalam hidupnya. Walaupun lelah, Ally kembali belajar balet dari awal. Ia keluar dari sekolah balet dan belajar otodidak. Mengulang gerakan – gerakan yang pernah ia pelajari. Sesekali masih terasa perih dan kata – kata mereka terbayang – bayang di benaknya, tapi Aleeta segera ‘menamparnya’ untuk bangkit kembali. Joel tidak tahan Aleeta terus - terusan marah padanya dan meminta Lora dan yang lain berhenti mengganggu Ally. Ally memiliki hidup yang jauh lebih baik, sekarang. Walaupun sedih karena harus kehilangan Aleeta. Setelah lulus, Aleeta harus pindah ke kota asalnya. Namun, semangat yang ia tinggalkan tetap ada di sini. Bersama Ally.
Hingga sekarang. Impiannya telah menjemputnya. Hari ini. Panggung yang bersinar. Alunan nada yang indah. Kursi penonton yang penuh sesak untuk menontonnya. Hari ini konser baletnya yang pertama. Setelah lulus, ia masuk universitas musik jurusan tari balet. Di sana ia mendapat nilai tertinggi dan penari utama dalam konser hari ini. Minggu lalu ia telah menelepon Aleeta untuk memberitahukan kabar luar biasa itu. Aleeta bilang, ia telah membuatnya sakit telinga karena Ally terus menerus berteriak – teriak di telepon. Dan Ally berjanji akan datang.
Detik demi detik. Waktu terus berjalan, dan beberapa menit lagi layar merah akan terbuka. Ia mulai gugup dan gemetar. Di akhir ia harus melakukan putaran, padahal pergelangan kakinya masih terasa sakit akibat cedera saat latihan. Putaran itu tidak pernah sempurna, bahkan sampai gladiresik pun masih belum berhasil. Namun saat menatap sepatu balet ibunya, Ally mendapat keyakinan kalau ia bisa. Ibunya. Ally. Impiannya. Janjinya. Percayalah pada dirimu sendiri. Hatinya terasa hangat dan ketenangan menyelimutinya. Aku bisa……
Layar merah terbuka dan orkestra memainkan karya Tchaikovsky. Para musisi mulai menggesek biolanya perlahan. Ally meletakkan ujung kakinya di lantai dan memulai segalanya. Ia seolah menari meniti dentingan nada, dan lincah beralih ke sisi kiri dan kanan panggung mengikuti staccato. Seisi gedung terpukau dan terpesona. Di hadapan mereka, seolah tampak seorang malaikat dengan sayap beningnya. Terbang. Melayang. Bersinar.
Ally merasa lebih tenang, namun tetap saja ia gugup jika mengingat putaran akhir yang harus ia lakukan dengan sempurna. Pergelangan kakinya masih sedikit terasa nyeri. Entah bagaimana keadaannya di akhir lagu nanti.
Saat itulah Ally melihatnya. Seseorang yang telah membangkitkannya kembali dari kematian jiwanya. Yang pertama kali memberitahunya bahwa ia sangat berharga. Sahabat yang membentuknya menjadi Ally yang baru. Sahabat terbaiknya. Seorang Aleeta tengah duduk di sebelah Joel pada barisan ketiga terdepan. Memperhatikannya dan tersenyum menenangkannya, seolah – olah mengerti kecemasan Ally.
‘Percayalah pada dirimu sendiri….’
Kata – kata Aleeta terngiang di telinganya. Dan Ally merasakan seberkas harapan yang pernah ia rasakan tumbuh lagi di hatinya. Ia harus percaya bahwa ia bisa melakukannya. Ally menghela napas panjang, dan mulai mencoba. Ia menari berputar dan kian lama kian cepat. Ia merentangkan tangannya, bebas. Terbang melintasi langit luas, menggapai sinar keemasan fajar. Kerja keras yang melelahkan, air mata dan tangisnya, semua kenangan itu seolah – olah ikut berpendar dengan indahnya.
Dan dalam sekejap, ketakutannya berakhir. Ally telah berhasil menyelesaikan konser pertamanya dengan sempurna. Matanya berkaca – kaca saat menerima applause dari hadirin. Tidak ada lagi cercaan, makian, semua itu tidak ada lagi…… Ia menghela napas lega. Hatinya meluap oleh kebahagiaan. Ia memandang Aleeta di seberang sana. Sahabatnya tertawa sambil menangis.
Aku berhasil, Al……. menjadi seorang ballerina seperti impianku….seperti janjiku pada ibu….. dan, ini hanya karenamu….. aku benar – benar bersyukur pada Tuhan karena telah mengirimmu untukku……thanks, Aleeta……
Ia tidak sabar untuk bertemu Aleeta setelah konser berakhir. Namun tepat saat ia keluar dari panggung, Joel datang menemuinya. Tatapannya terasa janggal.
“Kau menari dengan luar biasa, Ally. Aleeta sangat bangga padamu, dan……” ia perlahan merogoh sakunya. “dia minta kau membaca ini.”
Heran, namun Ally membuka surat itu dan membacanya.
Ya Tuhan………
Seketika itu juga, Ally merasa tubuhnya melemas. Matanya mendadak dipenuhi air mata. Lidahnya kaku dan hampir tidak bisa bicara. “Aleeta……”
Joel menatap Ally sendu dan air matanya bergulir. “Sebenarnya saat ia pindah ke kota ini, Aleeta menderita kanker stadium tiga. Dia ke sini untuk melanjutkan pengobatan. Namun kondisinya terus menurun, hingga para dokter menyerah. Aleeta tidak ingin kau tahu tentang penyakitnya, sehingga ia pulang ke kota asalnya. Sejak beberapa hari yang lalu, ia masuk ICU dan tidak sadarkan diri. Aku telah berjanji padanya untuk datang dan memberikan surat ini padamu, Ally,”
“T-Tapi,……tadi dia ada di sana…..Aleeta menontonku…..”
Joel terdiam dan menunduk. Ia menggeleng perlahan.
“Aleeta meninggal,………tepat saat konsermu dimulai………”
Ally terhenyak dan kehilangan kata- kata.
Dear Ally, maaf tidak memberitahumu tentang penyakitku. Aku sengaja merahasiakannya padamu, karena tidak mau kau cemas apalagi sampai mengganggu baletmu. Aku ingin memberitahumu kenapa aku bersikeras membantumu. Apa kau tahu? Aku depresi berat saat mengetahui penyakitku dan aku merasa sangat tidak berarti. Namun pada akhirnya aku dapat bangkit dan menjalani hidupku dengan bahagia. Saat aku melihatmu, aku ingin kau dapat bangkit, sama sepertiku, dan aku senang kau bisa melakukannya. Ibumu juga pasti sangat bangga padamu. Ally.
Seperti yang pernah kukatakan, setiap orang hidup karena sebuah tujuan. Dan aku telah berhasil mencapai tujuan itu. Kau telah membantuku melakukan sesuatu yang terbaik di akhir hidupku. Tetaplah percaya pada dirimu, Ally, kau tetaplah dirimu sendiri. kau adalah seorang Ally yang berharga………
UPAH KORUPTOR
Aku menutup mataku. Sebuah kain hitam dilekatkan erat-erat membuat aliran darah menuju kepalaku seolah-olah berhenti. Kupandang kegelapan yang membeku. Dingin. Ruangan itu terasa pengap dan tertutup, menyempitkan ruang gerak, membuatku tercengkeram jauh dari dunia luar. Dadaku sesak. Aku terhimpit dengan segala kehinaan!!
Jantungku berdegup kencang, napasku tersengal satu-satu. Aliran darah seolah berkumpul mengendap di otak, merajam kepalaku dengan duri!! Kukepalkan tanganku kuat-kuat. Suara-suara itu datang lagi!! Kata-kata Putri, cercaan rakyat, dan...dan...vonis itu....Mereka datang lagi!! Terus-menerus berputar mengejekku. Aku sudah tidak tahan lagi!! Aku gemetar, panik. Tidak ada jalan keluar!! TIDAK ADA!! Rasa takut berhasil menangkapku, menjalar di sekujur tubuhku, menggerogoti sumsum tulang, dan akhirnya perlahan melumatku habis dengan segala sakit yang luar biasa. Aku disiksa oleh rasa takutku membuatku ingin berteriak!!
Satu menit....dua menit..... Tidak ada yang berubah, hanya sesekali terdengar derap sepatu tentara di seberang sana. Tubuhku melemas, air mataku meleleh perlahan. Kain hitam di kepalaku mulai basah. Anak istriku,......teman-temanku,.....semuanya......tidak perduli denganku.Aku dicampakkan....dibiarkan terkulai sendirian. Siapa pun....tolong aku.....tolong aku..........percuma....tidak akan ada yang mau menolongku...... Kuhela napas panjang, pasrah. Memoriku perlahan terputar ulang.....mengingatkanku pada segalanya....
LLLL
Awal dari semuanya adalah segepok uang lima puluh juta rupiah yang kudapat dari proyek jalan tol baru. Itu kulakukan karena terpaksa. Doni, atasanku yang terus-terusan mendesakku memanipulasi biaya pembangunan jalan tol itu.
“Ayolah Wo, itu masalah kecil. Kita tidak mungkin ketahuan, toh semua orang percaya padamu. Lagipula tenang saja, nanti kuberikan bagianmu,” katanya dengan enteng.
Aku berpikir dengan penuh spekulasi. Di satu sisi, tentu akan sangat menyenangkan. Bayangkan, hanya duduk dan sedikit mengutak-atik catatan keuangan, lima puluh juta rupiah masuk kantung. Lima puluh juta, hmm....bahkan gajiku sebulan saja tidak sebesar itu!! Aku bisa melakukan banyak hal dengan uang itu. Namun di sisi lain, kalau ketahuan aku bisa dituntut dan masuk penjara. Lalu, bagaimana keluargaku??
“Ah, ini juga kan untuk kepentingan ekonomi keluargamu. Coba bayangkan, Wo, istrimu bisa belanja dengan lebih leluasa, tanpa memikirkan uang yang harus dibayar. Anakmu, si Bayu itu senang main game, kan? Nah, coba pikir, dengan uang tambahan ini, kau bisa membelikannya PSP yang baru!! Mereka pasti senang, Wo,” lanjut Doni lagi.
‘Hei, ingat konsekuensinya, kau bisa dipenjara!! Lagipula itu perbuatan haram berdosa dan dibenci Tuhan!’ sergah suara hatiku. Aku terhenyak kebingungan, entah langkah apa yang harus kuambil.
’Ah, sekali-sekali kan tidak mungkin ketahuan. Kau dikenal sebagai orang yang baik, tidak mungkin ada orang yang mencurigaimu. Lima puluh juta, Dewo, lima puluh juta, bukankah itu sangat menguntungkan??’ terdengar lagi suara hatiku yang lain. Benar juga. Hanya sekali ini, toh tidak ada salahnya. Lagipula semua ini kulakukan untuk keluargaku. Dan Tuhan juga pasti bisa memakluminya.
Dalam sekejap, uang ’tambahan’ itu masuk dompetku dengan mulus. Bayu sangat senang saat aku membelikannya Play Station baru dan komputer pribadi. Namun, tanggapan Putri berbeda. Dahinya terkernyit saat ia kuberikan kalung emas dan tambahan uang belanja.
“Dari mana kau dapat uang sebanyak ini, Wo? Sekarang kan belum saatnya gajian,“ tanyanya. Seketika itu juga aku tergugup gelisah. Apa yang sebaiknya kulakukan? Memberitahunya kalau aku korupsi? Apa tanggapannya nanti? Marah, senang atau apa? Tapi, kalau aku tidak jujur, aku hanya akan mengoleksi satu dosa lagi. ....ah, hanya dosa kecil, tidak apa-apa. Setiap orang kan pasti pernah bohong putih, bohong untuk kebaikan.
"Oh,...bonus perusahaan. Ya lumayanlah Put, sedikit rejeki," kataku berdalih. Untunglah kecurigaan Putri berhenti sampai di situ. Nanti saja, kapan-kapan akan kuberitahu dia.
Sebuah proyek lain datang. Doni kembali datang padaku dan menyuruhku korupsi lagi. Awalnya aku menolak dengan alasan takut ketahuan. Namun, ia mengiming-imingiku dengan uang jauh yang lebih besar. Dua ratus juta rupiah. Berlipat-lipat ganda dari gaji bulananku. Aku tergiur mendengarnya, apalagi keluargaku bahagia. Lagipula yang kemarin itu tidak ketahuan. Selanjutnya, pikiranku penuh dengan hal-hal yang bisa kulakukan dengan dua ratus juta rupiah.
Beberapa bulan kemudian, aku mulai terbiasa dengan 'keju tambahan' dari proyek-proyek yang kuurus. Apalagi tidak ada orang yang curiga, aku jadi makin leluasa. Lama kelamaan dua ratus juta rupiah berlipat ganda jadi empat ratus juta, delapan ratus juta, bahkan sampai milyaran rupiah. Aku dan beberapa pejabat lain juga sempat pergi ke Finlandia, dengan kedok belajar kebudayaan di sana. Hahaha....padahal nyatanya kami menghabiskan uang rakyat untuk berfoya-foya.
Doni sudah mulai macam-macam. Ia selalu ingin bagian yang lebih besar, padahal aku yang memanipulasi anggaran. Aku harus segera menyingkirkannya. Tentu saja itu masalah mudah. Kulaporkan dia ke polisi dengan tuduhan penggelapan uang. Dengan menyogok beberapa bawahan untuk menjadi saksi, dalam sekejap Doni meringkuk di balik jeruji.
Saat ini hidupku makin makmur. Hanya duduk santai tanpa melakukan apa-apa, milyaran rupiah mengalir dengan sendirinya. Ya, walaupun takut ketahuan, tapi tetap saja tidak sebanding dengan hasilnya. Ah, jadi pejabat itu memang enak!! Namun Putri, istriku mulai curiga dari mana milyaran rupiah itu datang. Ia bertanya dan kupikir sudah waktunya kuberitahu dia. Jadi dengan enteng aku jujur padanya kalau aku korupsi. Tak kusangka raut wajahnya berubah. Putri benar-benar terkejut dan tiba-tiba menjadi sangat marah. Ia tidak setuju dengan sikapku, sedangkan aku terus bersikeras kalau semua yang kulakukan ini benar. Kami bertengkar hebat.
"Dasar jahanam!! Penipu brengsek!! Itu uang rakyat, Dewo!! Jadi selama ini, kau menghidupiku dan Bayu dengan uang haram?!!" teriaknya marah sambil melemparkan semua perhiasan dan barang-barang yang kubelikan untuknya. "Kau tidak lihat, rakyat semakin miskin?! Harusnya kau sebagai pejabat memberikan kesejahteraan, bukannya malah mengerogoti uang mereka!! Tak kusangka, Wo, ternyata kau sama saja dengan sampah negara!!"
"Apa salahnya?!!" aku balas berteriak. "Semua pejabat pasti korupsi. Lagipula untuk apa kau pikirkan rakyat, gembel-gembel kecil yang hanya bikin susah itu, hah?! Justru mereka yang sampah negara!! Dengar Put, biar saja mereka makan kotoran, yang penting kita kaya, kita makmur!!"
Putri memandangku dengan sangat benci. "Setan sedang duduk di bahumu, Dewo, menutup mata hatimu, hingga kau bertingkah laku sehina ini!! Tuhan akan menghukummu, Dewo, Tuhan pasti menghukummu!!"
Huh, omong kosong itu semua!! Putri tolol! Dia malah membawa Bayu pergi ke rumah orang tuanya. ....biar saja dia sengsara dengan kebodohannya. Dan Tuhan? Hahaha....Tuhan itu tidak mampu berbuat apa-apa!! Omong kosong kalau Dia bisa menghukumku!!
LLLL
Keesokan harinya, pintu rumahku diketuk. Dan betapa terkejutnya aku saat melihat siapa yang ada di baliknya. Beberapa polisi membawa surat penangkapanku dengan tuduhan korupsi 1,9 triliun rupiah! Sial!! Ini pasti ulah anak buah Doni yang balas dendam. Ah, ini masalah kecil!! Aku hanya perlu mengeluarkan beberapa BMW untuk hakim dan pejabat hukum lain, ya, seperti yang dilakukan pejabat-pejabat lain. Selanjutnya, aku bisa bebas!!
Mati aku. Ternyata mereka 'bersih' dan sogokanku itu malah memberatkan tuduhanku. Saat hakim membacakan vonis hukuman, rasanya aku seperti disambar petir. Tubuhku gemetar lemas. Putri, yang menghadiri sidang itu sampai berteriak histeris mendengarnya.
Aku divonis hukuman mati.
LLLL
Perintah penembakan yang baru saja diteriakkan membawaku kembali ke ruangan pengap itu. Aku menghela napas panjang, lalu menengadah. Mengapa penyesalan selalu datang terlambat?.....andai aku bisa mengulang semuanya.....aku tidak akan menuruti bujukan Doni....aku tidak akan mudah terbius hingga terperangkap jerat korupsi....andai waktu itu aku memikirkan nasib rakyat....tentu aku tidak akan ada di sini....tentu Putri tidak perlu menerima hinaan dari tetangga....dan Bayu....dia tidak akan menjadi seorang anak yatim.....Tuhan....ampuni aku...... Aku terlalu bebal!! Aku terlalu rakus!!
"Tiga!!" teriakan rakyat terngiang di telingaku. 'Brengsek!! Jahanam!!'
"Dua!!" ...'dasar binatang kudisan hina!!'
"Satu!!" terdengar suara letusan senapan dan selanjutnya sesuatu menembus kepalaku................
LLLL
Aku bisa merasakan tubuhku melayang ringan. Sementara itu, kusaksikan Putri dan Bayu sedang menangis kelu di dekat sebuah gundukan tanah yang masih merah. Di baliknya terbaring jasadku terbujur kaku. Keserakahan akan uang dan kekayaan telah mengantarku kepada kematian yang sia-sia.
Seekor setan menyeringai dari balik batu nisanku. Menertawakanku tiada henti-hentinya, sambil berteriak puas, "AKU MENANG!!!"
LLLL
10 Oktober 2009
10 Oktober 2009 19:48
Sebuah Honda City silver metalik melaju dengan kecepatan tinggi menelusupi keramaian kota. Terus-menerus meliuk liar tanpa menghiraukan klakson protes mobil lain yang hampir ditabraknya. Ia seolah merasa dirinya raja jalanan. Beberapa pemakai jalan lain gerah dan mulai berteriak memaki. Syela terus mengendarai mobilnya seraya tertawa menikmati kegilaan itu. Ia membanting stirnya tanpa perduli apa yang ada di sampingnya. Kakinya menekan pedal gas dalam-dalam walaupun terdengar peluit polisi yang memberinya peringatan.
Sekali lagi Syela berteriak. Kali ini hampir tiga kali lebih keras dari sebelumnya, karena baru saja berhasil menghindari minibus yang datang dengan kecepatan tinggi dari arah berlawanan. Ia tertawa keras pada sosok di belakangnya. Seorang nenek tua tengah meringkuk seraya memeluk tasnya. Tubuh keriputnya gemetar dikunyah-kunyah rasa takut. Sudah lebih dari seratus kali ia mengucapkan kata ‘Tuhan’, memohon agar semuanya berakhir. Dan ia putus asa. Entah sampai berapa ratus kali lagi mulutnya akan mengucapkan doa itu. Sampai dua ratus atau jantungnya yang akan berhenti berdetak terlebih dahulu.
“Berhenti...” bibirnya yang gemetar melontarkan suara lirih. “...berhenti...”
Syela menoleh ke belakang, menatap sang nenek dengan dingin. “ Ini balasan untuk kalian, karena berusaha menyingkirkanku!! Balasan untuk Pia tua yang sok bijak, untuk Kila si anak kecil pengecut dan balasan tentu saja untuk si Elois brengsek yang lebih kalian pilih daripada aku!!”
Kemudian si gadis muda memaki seraya kembali ke stirnya, menanti perempatan berikutnya untuk diseberangi. Lampu merah menyala. Mobil-mobil di sampingnya merespon dan berhenti. Namun Syela segera menginjak pedalnya lebih dalam lagi. Menyalip sebuah mobil di depannya dan bersiap menyeberangi perempatan. Jarum speedometer melompat ke angka 110. Honda City-nya melaju menyeberangi jalan. Rentetan klakson mengiringi sang nenek tua yang semakin gemetar menggulirkan doa untuk keselamatannya. Tepat saat ia mengucapkan kata ‘Tuhan’-nya yang ke-121 kali, mendadak sebuah sinar menyilaukan menyergap jendela kiri. Ia masih sempat menyebut ‘Tuhan’ satu kali lagi sebelum mendengar teriakan Syela disusul dentuman hebat.
Dafa memacu mobilnya secepat mungkin, berusaha mengejar Syela. Namun ia perlahan berhenti dan terhenyak. Pemuda itu harus menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri. Sebuah minibus dengan kecepatan tinggi menghantam Honda City Syela hingga terhempas keras ke pagar jalan. Dentuman itu hanya menyisakan keheningan.
........dua detik kemudian, Dafa berlari keluar mobil dan berteriak.
****
9 Oktober 2009 18:03 – Elois Purnadjaja
9 Oktober. Aku menyilangnya dengan semangat. Akhir dari minggu ujian akhirnya datang juga. Setelah bergelut sekian lama dengan para klitelum, monokotil, turunan parsial, dan asam format, akhirnya liburan merapat mendekat dan berdiri di depan mataku. Liburan di vila milik Neysa, barbeque party, nonton DVD bajakan, malam penuh gosip. Semua itu yang menyita pikiranku selama minggu ujian. Avogadro, sistem periodik, dan termodinamika harus rela berdesakan karena mereka hanya kuberi jatah 35,67% dari kavling otakku. Sekali lagi aku memandangi kalender dengan senyum puas. 11 Oktober!! 11 Oktober!! Aku akan liburan dengan yang lain!!!
....tunggu dulu....11 Oktober??! Berarti masih ada tanggal...
“Jangan senang dulu, Elois, kau belum melewatkan tanggal 10.” Dafa seolah dapat menyambung apa yang ada di benakku.
10 Oktober?! ASTAGA!! Elois, bagaimana kau bisa melupakan BESOK?! Ujian sejarah, deadline pengumpulan makalah biologi dan tugas akhir praktikum fisika, pengumuman remmedial untuk ujian-ujian sebelumnya, rapat OSIS membosankan sampai sore...
“Besok malam kau janji untuk menemani oma belanja syal.”
HAH?? Kemana perginya keberuntunganku di tanggal 10?
Aku terduduk lemas di samping Dafa. Terhenyak mengetahui betapa menyebalkannya to-do list-ku besok. Ujian sejarah tentang Pithecanthropus dan teman sekelasnya plus Tribhuwanattunggadewi yang entah ibunda dari raden siapa. Makalah biologi yang belum menyentuh bab analisis. Tugas akhir praktikum fisika yang rumusnya masih benang kusut. Pengumuman remmedial yang pasti dengan senang hati mencantumkan nama Elois Purnadjaja di semua deretan mata pelajaran. Rapat OSIS berdurasi tiga jam dengan topik bahasan yang sama dengan dua rapat sebelumnya. Plus bonus belanja syal dengan oma yang memerlukan lebih dari satu setengah jam hanya untuk memilih antara syal merah atau syal hijau (dan biasanya setelah itu oma malah melirik syal coklat yang ada di rak lain dan berpikir ulang untuk memilih di antara tiga syal. Aku? Aku langsung membalik jam pasirku seraya menguap dan menghitung ulang dari detik pertama hingga satu setengah jam ke depan).
“Satu lagi,” kata Dafa beralih dari PS3-nya dan memandangku. “setelah itu, kau ada janji dengan Tante Syl sekitar jam delapan. Jangan sampai lupa.”
Aku cemberut. “Untuk apa sih aku bertemu dengan dia? Dia orang yang konvensional dan membosankan. Gaya bicaranya seperti tengah menginterogasiku. Dia juga selalu menanyakan tentang orang-orang yang tidak kukenal. Misalnya....hmm.... Pia, Syela, dan....siapa nama anak aneh itu, ....ah ya, Kila... Jangankan kenal, pernah dengar nama mereka saja aku tidak pernah.”
“Maksud Tante Syl itu sebenarnya baik, Elois. Dia hanya ingin mengobrol denganmu. Kau tahu kan, anak perempuan satu-satunya meninggal, jadi ia menganggapmu sebagai putrinya. Tentang Pia, dan yang lainnya itu, mungkin mereka teman-teman dari putrinya. Tante Syl pasti hanya kelepasan bicara. Toleranlah sedikit, dan nikmati saja obrolan kalian.”
“Kau yakin dia tidak punya ilmu seperti hipnotis, atau penyakit jiwa akibat kematian putrinya?? Kau tahu aku memang pelupa. Kadang lupa menaruh barang, dan kadang-kadang lupa baru saja berkata apa. Yah OK, aku memang pelupa level super. Tapi setiap kali aku mengobrol dengan Tante Syl, aku sangat sering lupa. Mendadak aku berada di dapur dan aku tidak mengerti yang ia katakan. Atau dia menjawab pertanyaan yang tidak kutanyakan. Kupikir dia pasti sudah gila...”
Dafa mengerutkan kening lalu tertawa. “Astaga Elois....dia hanya ingin mengobrol saja denganmu. Dia memerlukanmu agar tidak terlalu sedih memikirkan putrinya. Dan...dia tidak gila. Kalau Tante Syl sering ngelantur, mungkin saat itu dia sedang mengantuk. OK?”
“Hmm...OK.” aku berpikir sejenak, menelan mentah-mentah perkataan Dafa. Lagipula tidak ada gunanya aku memikirkan hal itu. Masih banyak hal yang harus kukerjakan saat ini. MASIH BANYAAAKKK!!
“Tidak perlu tertekan seperti itu, Elois. Keadaannya tidak akan seburuk yang kau bayangkan.” Dafa kembali beralih pada PS3-nya dan memilih Inter Milan sebagai tim yang akan dimainkannya. Kemudian ia menempatkan I Nerrazzuri di salah satu tempat dari 32 kotak kosong yang tersedia. Aku mengomel seraya mengambil stick PS Dafa dan memilih tim lain yang akan menjadi lawan Dafa, dengan menempatkannya di kotak kosong lain.
Dafa merebut stick PS-nya kembali dan menekan tombol lingkaran. “Kau tidak perlu repot-repot memilih. Tinggal tekan lingkaran untuk skip, dan komputer akan memilih tim-tim itu secara acak untuk bertanding.” Selanjutnya dalam sekejap, puluhan kotak kosong tadi terisi.
“Jadi tidak perlu memilih tim satu persatu? Enak sekali bisa melewatkan sesuatu! Andai aku bisa melewatkan besok. Tekan lingkaran dan aku bangun pagi di 11 Oktober pagi. Bangun pagi, mandi, dan pergi ke vila Neysa.”
Dafa tertawa. “Kalau aku punya stick seperti itu, tidak akan kupinjamkan padamu. Berhentilah berkhayal tentang pesta barbeque, Non. Hafalkan dulu fosil apa yang ditemukan di Magelang.”
Aku bangkit seraya menggerutu. Lebih baik aku mulai mengerjakan makalah sekarang atau aku mungkin tidak akan sempat tidur malam ini.
Sinar matahari menelusup masuk dari celah-celah tirai kamarku. Tepat menyinari wajahku hingga aku terbangun. Dengan enggan, perlahan kubuka mataku seraya berpaling menghindari silaunya terik matahari. Ya ampun, kepalaku sakit sekali. Pasti ini efek dari beragadang semalaman. Aku sudah mencoba mengerjakan semuanya secepat mungkin, namun tetap saja membuatku terjaga hingga jam tiga pagi. Padahal jam 5.30 aku harus segera bangun karena ujian sejarahku dimulai jam tujuh.
Jam 5.30? ..tunggu dulu, matahari 5.30 tidak mungkin seterik ini, kan?? Panik, aku melihat jam dinding. 6.15. Aku spontan bangkit dari ranjang, tanpa menghiraukan kepalaku yang masih berat. Kusambar handuk dan keluar kamar sambil mengomel karena tidak ada yang membangunkanku.
Ruang keluarga terlihat sangat sepi. Tidak ada satu orang pun. Bahkan suara Bi Iyem yang tengah mencuci piring pun tidak ada. Hei, ke mana semua orang? Apa mereka semua masih tidur? Kulirik kamar Dafa. Ranjangnya sudah rapi. Begitu pula dengan kamar orang tuaku. Aku memang anak angkat keluarga Purnadjaja, tapi selama delapan tahun aku diadopsi, peristiwa ‘mereka membereskan ranjang setelah bangun tidur’ bisa dihitung pakai jari.
“Bi Iyem!! Dafa!!” teriakku. Tidak ada jawaban.
“Pa!! Ma!!” teriakku sekali lagi. Namun tetap hanya ada dinding-dinding yang menjawabku bisu.
Mungkin lebih baik aku menelepon. Tega sekali mereka pergi dan meninggalkanku sendirian. Aku meraih telepon dan sekali lagi mengeluh. Sepertinya teleponku rusak karena menampilkan hari yang salah. Saat aku hendak menekan tombol, aku terpaku. Menatap jam digital di lemari.
Bukan jamnya. Tapi tanggalnya.
Aku memandang bergantian tanggal di jam dengan yang tertera di layar telepon. Aku beralih melihat jam dinding di dapur. Jam dekat TV. Semua jam. Keherananku memuncak dan mulai menekanku. Aku menyambar ponselku dan melihat kalender. Tidak mungkin. Pasti semuanya salah.
Tidak mungkin.
Aku segera berlari ke ruang keluarga dan menyalakan TV. Liputan pagi. Sang presenter tersenyum seolah sedang menyambutku. “... selamat pagi. Berjumpa dengan saya, Elva Yuniar, di Liputan Pagi edisi Minggu, 11 Oktober 2009. Hari ini berita utama kami...”
Aku terhenyak. Mencoba memercayai apa yang kulihat dan yang kudengar. Mencoba memahami apa yang terjadi. Bagaimana bisa aku tidur di tanggal 9 dan terbangun di tanggal 11?!!
...untuk sesaat aku termenung. Selanjutnya jantungku membeku.
Lalu....lalu....lalu apa yang terjadi di tanggal 10?
Aku gemetar.
****
18 Maret 2008 03:46
Langit hitam pekat, tidak menyisakan ruang untuk seberkas cahaya bulan sama sekali. Deru angin kencang menggoncang pepohonan. Halilintar berdentum turun seolah hendak mengoyak apapun yang disambarnya. Dalam beberapa detik hujan lebat disertai badai turun merajami semua yang di bumi.
Dafa tersentak bangun dari tidurnya dan segera bangkit. Ia berlari menuju kamar di sebelahnya. Kedua orangtuanya tiba bersamaan dengannya, dan mereka segera membuka pintu. Seorang gadis tengah meringkuk di bawah mejanya dengan wajah pucat ketakutan. Ia mencengkeram lututnya sendiri hingga kuku-kukunya menggores pahanya. Rambutnya yang panjang kusut berantakan, menjuntai menutupi setengah dari wajahnya. Mendadak sebuah halilintar menyambar. Mata Kila berkilat dan ia berteriak histeris.
Dafa segera berlari meraih gadis itu dan memeluknya erat-erat. “Kila, dengarkan aku, Kila...Kau baik-baik saja... kau baik-baik saja....”
Kila tetap menggigil. Halilintar itu....deru angin.....badai....... Setelah itu, dia....sebentar lagi dia akan datang untuk menyeretku. Memukulku lagi dengan tongkat..... Tubuh Kila berguncang semakin hebat. Dia akan datang...untuk menyiksaku lagi...Dia datang...!!!
Sang Ibu menahan air matanya seraya mengambil botol dan suntikan di dalam lemari. Namun tangisnya tetap pecah tak tertahankan. Sang Ayah ikut memeluk Kila erat-erat, menahan berontakan gadis itu. “Dia sudah tidak ada, nak. Tidak ada yang akan melukaimu lagi... orang jahat itu sudah diusir.”
“Pia!!” seru Mama di dalam isaknya. “Pia,...tolong kami...penyakit Kila kambuh!!”
Pia balas menatap keluarga itu dengan sedih. “Aku tidak bisa melakukan apapun. Dulu saat Kila masih tinggal dengan mama kandungnya, setiap kali hujan dan halilintar datang, penyakit schizofrenia mamanya selalu kumat, dan ia mulai menyiksa Kila. Peristiwa itu terjadi bertahun-tahun dan mengguncang jiwa Kila yang masih kecil. Walaupun sekarang Kila diadopsi dan tinggal bersama kalian, saat hujan turun, ia selalu kambuh dan aku tidak bisa mencegahnya.” Katanya lirih. “Kita hanya bisa menenangkannya dengan suntikan penenang.”
Masih dalam tangisan, sang Mama menyuntik lengan Kila. Beberapa detik kemudian, gadis itu berangsur tenang dan tertidur. Wanita paruh baya di dekatnya menangis tersedu-sedu. Walaupun ia bukan mama kandung Kila, namun ia telah menganggap gadis itu sebagai anaknya sendiri.
“Mau sampai kapan ia seperti ini terus?” katanya sedih.
Dafa yang masih memeluk Kila, beralih pada mamanya. Matanya pun berkaca-kaca. “Sabar Ma, walaupun Tante Syl bilang keadaan Kila dan Syela sangat parah, tapi suatu hari mereka pasti akan sembuh. ”
“Mungkin kita harus menjelaskan pada Elois tentang Kila, Pia dan Syela.” Kata Ayah seraya menatap keluarganya dengan sendu.
Dafa menggeleng.
“Elois tidak akan mengerti, Pa, dia tidak akan pernah bisa mengerti. “
****
11 Oktober 2009 06:54 – Elois Purnadjaja
Di dalam taksi, aku mencoba menghubungi ponsel semua orang. Papa, mama, Dafa, Neysa, Virla, dan teman-temanku yang lain, namun tidak ada satu pun yang menjawab ataupun membalas SMS-ku. Ke mana perginya semua orang?! Mengapa mendadak semuanya lenyap tanpa sisa dan meninggalkanku sendirian dalam keheranan atas apa yang terjadi??
“Hmm...Pak,” kataku ragu-ragu. “hari ini tanggal berapa ya?”
Supir taksi berpikir sebentar dan kemudian menjawab, “Tanggal 11 Oktober, Neng, ini hari Minggu.”
Aku kembali terhenyak lemas. Hari ini benar-benar tanggal 11! Bagaimana bisa aku melewatkan tanggal 10?!
“Neng sedang sakit ya? Wajahnya pucat sekali.” Ujar supir taksi dengan logat sopan.
“Oh, iya, Pak. Saya memang sedang kurang enak badan. Kepala saya sakit sekali. Mungkin kurang tidur.” Tentu saja wajahku pucat, aku baru saja mendapatkan fakta bahwa hidupku hilang satu hari. Seolah-olah aku memilih untuk melewatkan satu hari, dan hari itu terisi tanpa kendaliku.
Taksi yang kunaiki berhenti di depan rumah Lanny. Sahabatku itu tengah duduk di beranda. Perlatan barbeque dan tas kopernya sudah siap di sebelahnya. Aku bisa menebak isi tasnya tanpa harus membuka, pasti penuh dengan makanan dan cemilan. Ia tengah menelepon dan terlihat sangat emosi. Saat taksiku mendekat, aku bisa mendengarkan suaranya yang cukup keras. Ia sedang marah, dan belum pernah kulihat wajahnya sampai semerah itu.
“...aku tidak mau dengar lagi, OK? La, aku sudah sangat muak dengan perilakunya yang aneh itu!! Kadang-kadang baik, tapi tiba-tiba berubah sinis. Aku benar-benar tidak mengerti. Kau ingat kan dulu waktu kita baru masuk SMA, mendadak di aula olahraga, dia mendorongku sampai jatuh. Bahkan ia memakiku dengan kasar?! Kemudian tiba-tiba ia menatapku bingung dan langsung meminta maaf. Sudah kubilang Elois itu aneh, La...”
A....A....AAKU? A-AKU ANEH? Kenapa Lanny bisa bicara seperti itu? Waktu itu, aku hanya tidak sengaja menyenggolnya, dan aku tidak pernah memakinya!!
Aku membeku di dalam taksi. Ingin keluar, namun kejanggalan semuanya menahan kakiku. Aku memeluk tasku seraya terus mendengarkan percakapan Lanny, tanpa menghiraukan tatapan heran supir taksi.
“....bukan cuma itu, Virla. Kau masih ingat, saat mendadak ia hilang dan kita menemukannya tengah menangis histeris di gudang tanpa alasan yang jelas. Bahkan saat itu dia tidak bisa bicara sama sekali....” Lanny terus-menerus bicara tanpa memberi kesempatan Virla untuk bicara. “Dan kemarin! Kemarin tiba-tiba saja dia marah-marah padaku bahkan mengataiku. Padahal aku hanya konfirmasi acara barbeque party kita. Tapi si Elois aneh itu berbalik membentakku!!”
Kemarin aku membentaknya?!! Tidak!! Aku tidak pernah membentaknya!! BAHKAN AKU TIDAK MENGALAMI TANGGAL SEPULUH OKTOBER!! YA TUHAN... APA YANG TERJADI SEBENARNYA?!!! Kenapa semuanya terlihat aneh? Kenapa hidupku seperti abnormal? Kenapa aku sering berada di tempat yang asing? Kenapa aku kadang menemukan diriku tengah menangis? Kenapa...?
Aku menunduk dan merasakan emosi berkecamuk dalam diriku. Sejak aku tinggal di panti asuhan pun, aku memiliki pertanyaan yang tidak pernah dijawab. Ibu panti bahkan keluargaku yang sekarang pun tidak bisa menjelaskannya. Aku tidak mengerti mengapa aku sama sekali lupa dengan asal-usulku. Aku hanya ingat aku tiba-tiba berada di panti asuhan saat berusia sembilan tahun. Aku tidak tahu mama asliku, dan bahkan aku tidak ingat berapa nilai matematikaku saat kelas satu SD. Keberadaanku di dunia ini seolah-olah instan, dan aku sulit memahaminya.
Apa yang salah dengan diriku?
“...sebentar La, ada telepon dari Neysa,” kata Lanny saat ponselnya yang satu lagi berbunyi. “......halo Sa, ada apa? ....”
Lanny akhirnya terdiam sebentar mendengarkan Neysa. Beberapa detik kemudian, wajahnya berubah. Matanya melebar dan ia tersentak berdiri. “ASTAGA!! OK, aku akan ke sana!!”
Ia beralih pada ponselnya yang masih tersambung dengan Virla seraya segera berhambur ke mobilnya. “Elois dan omanya kecelakaan!!!........tadi Neysa meneleponku, katanya omanya Elois koma di RS Medika, tapi dia tidak tahu bagaimana keadaan Elois!!...” selanjutnya Lanny menutup pintu mobilnya dan suaranya tidak bisa kudengar.
“K..kecelakaan...?” aku mulai gemetar. Aku dan oma kecelakaan? Tapi aku baik-baik saja di sini....aku memang mengalami sakit kepala, tapi aku baik-baik saja!! Aku mulai berspekulasi.
.....jangan-jangan hanya aku yang selamat dari kecelakaan itu, dan oma.....ASTAGA!!
Panik. Aku berteriak. “RS MEDIKA, PAK!! SEKARANG!!!”
****
11 Oktober 2009 07:57 – Elois Purnadjaja
Dafa tidak bisa menahan emosinya. Wajahnya sayu dan kelabu. Ia telah menangis sejak tadi subuh hingga kelelahan. Dafa, Mama, dan bahkan Papa bahkan sudah tidak bisa menangis lagi. Mataku berkaca-kaca melihat mereka begitu rapuh. Air mataku jatuh dan satu tetesan lagi membasahi pipiku. Rasanya aku ingin memeluk mereka erat-erat, namun kakiku membeku dan lidahku kaku. Aku hanya dapat menatap hampa orang-orang yang kucintai.
Lima belas menit yang lalu, aku sampai ke rumah sakit dan segera mencari keluargaku. Mereka tengah berada di sebuah ruangan. Namun aku hanya menemukan kedua orangtua angkatku. Aku mendekat untuk melihat. Oma tengah terbaring lemah dengan luka di kepala dan lengannya. Hidungnya dimasuki selang oksigen, dan EKG menunjukkan denyutnya sesekali. Hatiku trenyuh melihat keadaannya. Perlahan kulangkahkan kakiku ke dalam ruangan. Namun kedua orangtuaku tidak menghiraukanku. Aku memanggil mereka, namun tidak ada yang menoleh.
Aku pergi keluar ruangan dan menyusuri lorong rumah sakit untuk mencari Dafa. Dan aku menemukannya. Di ruangan lain yang tidak jauh dari ruangan oma. Para sahabatku juga berada di dalam. Dafa tengah duduk di kursi, di dekat sebuah ranjang. Ia tengah menggenggam tangan seseorang. Aku melangkah lagi untuk melihat lebih jelas. Seorang gadis tengah terbaring kaku berselimut putih.
Itu aku. Itu tubuhku.
Nonsense!!
Aku segera berhambur menubruk Dafa. Mengguncang-guncang bahunya. Namun aku tidak bisa menyentuhnya. Aku berteriak memanggilnya. Dafa! Neysa! Virla! Lanny! Siapapun!! Aku belum mati!! LIHAT!! AKU DI SINI!! AKU BELUM MATI!!
Tidak ada seorangpun yang menghiraukanku. Mereka masih menangis dan terpaku sendu memandang jasadku yang terbaring tanpa daya. Saat itulah aku tahu. Dengan gemetar, aku menyentuh tubuhku. Matanya terpejam tenang, dan aku tahu dia tidak akan terbangun lagi. Rasanya seluruh diriku hancur. Aku menutup mulutku dengan tangan sambil terisak. Aku hanya melewatkan satu hari, namun hari itulah yang membunuhku.
“...kemarin, Elois pergi berbelanja dengan oma. Dan seharusnya setelah itu, ia ada janji bertemu dengan Tante Syl. Namun, saat supir turun untuk membukakan pintu, Elois mendadak pindah ke kursi stir dan melarikan mobil. Aku berusaha mengejarnya, namun....” kata Dafa pelan. Ia terlihat sangat terpukul saat mengingat kejadian itu. “.....aku terlambat. Truk itu menabrak mereka, tepat di depan mataku....”
“Ta-tapi Elois tidak bisa menyetir mobil....” ujar Virla terbata-bata. “Kenapa dia melakukan hal itu? Kenapa dia harus kabur?”
Dafa menghela napas lagi. “Itu bukan Elois. Tapi Syela.”
Syela? Syela? Nama itu sering sekali diucapkan Tante Syl... Dafa bilang itu nama teman almarhum putri Tante Syl. Apa maksudnya?
Dafa memandang sahabatku dengan berat hati, namun aku tahu sebentar lagi aku akan mengetahui kebenarannya. “Nama Elois sebenarnya adalah Kila. Saat Kila kecil, ia sering disiksa oleh mamanya yang schizofrenia. Di usianya yang ke-sembilan, mamanya dipenjara karena berniat membunuh tetangganya, sedangkan Kila ditempatkan di panti asuhan. Penyiksaan yang dialaminya menyebabkan jiwa Kila terguncang, dan psikisnya terganggu. Waktu berlalu, dan kepribadiannya terpecah. Jiwa Kila kecil terkunci dalam dirinya, sementara kepribadian lain berkembang lebih dominan. Itulah Elois yang selama ini kita kenal. Dialah yang kami adopsi, dan dialah yang bersekolah bersama kalian.” Kata Dafa masih dengan suara lirih. “.......namun yang hidup di dalam tubuhnya bukan hanya dia saja. Kepribadian lain memunculkan Pia, seorang wanita berusia pertengahan tiga puluh yang bijak dan paling pengertian di antara kepribadiannya yang lain. Pialah yang sering berkomunikasi dengan Tante Syl-psikolognya, karena hanya dia yang dapat mengetahui apa yang dilakukan kepribadian lain. Sedangkan Syela, dia serpihan kepribadian yang paling liar. Dia brutal, pemberontak, kasar, egois. Syela ingin menguasai tubuh Elois sepenuhnya. Karena itu, setiap kali akan bertemu Tante Syl, Syela sering kambuh dan melakukan apa saja agar janji pertemuan itu gagal. Dia tahu, Tante Syl berusaha mengobati Elois dan mengikis kepribadiannya yang lain. Syela tidak ingin tersingkir dari tubuh itu.”
Dafa memandang jasadku yang terbujur kaku dan menggenggam tanganku erat-erat. “Elois mengidap Multiple Personality Disease atau kepribadian ganda.”
Tubuhku lemas dan aku jatuh lunglai. Aku memiliki banyak kepribadian?!! Jadi....karena itulah....selama ini aku tidak bisa mengingat apapun tentang masa kecilku. Karena itulah aku sering menemukan diriku di suatu tempat tanpa tahu bagaimana caranya aku berada di sana...
....karena aku mengidap MPD......
Aku dapat membaca keterkejutan yang sama di wajah sahabatku.
“.....jadi.....yang waktu itu menangis di gudang sekolah.... dan ...yang memakiku kemarin.....” Lanny terbata.
Dafa mengangguk pelan. “...setiap kali hujan petir datang, Elois berubah menjadi Kila dan menangis histeris. Ia tidak bisa mengendalikan kemunculan kepribadian lain. Bahkan dirinya sendiri pun tidak bisa mengatur kapan ia menjadi Elois. Kemarin kepribadian Elois sama sekali tidak muncul. Saat pagi, dia bangun dengan kepribadian Pia. Mengikuti ujian terakhir, mengumpulkan tugas, dan berbelanja syal dengan oma. Namun saat hendak turun dari mobil, Syela muncul dan melarikan mobil dengan kecepatan tinggi hingga kecelakaan.” Dafa menatap langit-langit dengan hampa. “.....dulu, aku yakin suatu hari nanti Elois akan selamanya menjadi Elois. Harapan itu selalu ada setiap kali aku bangun pagi dan menemukannya tengah menggosok gigi di toilet. Ia tersenyum padaku dan mengucapkan selamat pagi. Di pagi yang lain, aku ingat dia mengejekku karena tim sepakbola andalanku kalah di pertandingan melawan tim andalannya........” mata Dafa berkaca-kaca namun ia tersenyum. “Aku selalu berharap bisa menikmati cangkir kopi panas bersama Elois saat hujan besar datang, dan bukannya bersama Kila. Aku selalu berharap bisa memilihkan baju untuknya saat berbelanja dan tidak bersama Syela liar yang shopaholic. Aku selalu berharap. .....namun sekarang, ia meninggalkanku. Bahkan ia pergi dengan membawa semua harapan yang kukumpulkan bertahun-tahun.” Ia memandang tubuhku yang kaku. “......ia pergi begitu saja...”
Dafa........
Aku memejamkan mataku dan menangis tanpa suara.
Andai aku tidak memiliki kepribadian Syela. Andai aku bukan pecahan kepribadian Kila. Andai aku tidak memiliki MPD, saat ini aku pasti masih bisa memeluk Dafa. Memeluk orangtua angkatku. Memeluk sahabatku. Dan mengatakan bahwa aku mencintai mereka.
Beberapa suster melangkah masuk dan mengatakan akan memindahkan tubuhku ke rumah duka. Dafa menghapus air mata yang ada di wajahnya dan berdiri membiarkan mereka lewat. Sebelum mereka membawa tubuhku, Dafa masih sempat menyelipkan secarik kertas kecil ke tanganku yang dingin. Saat para perawat mendorong ranjangku keluar dari kamar, kertas itu jatuh. Aku memungutnya dan membacanya perlahan...
Maybe you're still here
I feel you all around me
Your memory's so clear
Deep in the stillness
I can hear you speak
And you are watching over me from up above
Fly me up to where you are
Beyond the distant star
I wish upon tonight
To see you smile
If only for awhile to know you're there
A breath away's not far
To where you are
....andai diriku hanya memiliki kepribadian Elois seorang,
....aku masih punya kesempatan untuk mengatakan bahwa aku mencintainya...
ÒÒÒÒÒÒ