Aku tidak mampu berpikir tentang siapa Allah itu. Pikiranku terlalu sempit untuk menjelaskan dan benakku tidak cukup luas untuk menampung fakta tentang siapa Dia. Namun saatku kecil, aku mendengar tentang Dia dari orang-orang di sekitarku. Dari orang tua, kakek, nenek, saudara, teman-teman. Semua kata-kata mereka memicu bayanganku tentang Allah. Aku berpikir Dia pasti seorang Raja yang besar, duduk di kursi kebesaranNya dan terselubungi jubah emas yang besar. Dia seperti penyihir yang memiliki kekuatan tiada batas. Tak lekang oleh ruang dan waktu.
Saat aku duduk di SMP, aku menemukan diriku teronggok bak sampah yang tiada artinya. Aku mulai mengerutkan dahi saat mendengar perkataan bahwa Allah menyediakan yang baik bagi manusia. Saat aku melihat hidupku, aku pikir Allah seperti tengah berjudi. Rasanya seolah-olah Dia tengah bermain lempar koin, dan hidupku sebagai koinnya. Aku ingat saat itu aku senang menulis, dan aku menulis hal ini di salah satu cerpenku :
“Manusia sebuah sistem tercanggih yang pernah ada. Pikiran Penciptanya sangat tidak terjangkau. Ratusan juta tahun atau bahkan milyaran, triliunan sudah usia bumi ini, tapi masih tidak cukup juga untuk mengerti seluk beluk biologis seonggok tubuh yang namanya manusia.
Tapi, itu bukan berarti aku mengagumi The Creator.
Aku menyebut diriku Koin. Karena rasanya Dia mempermainkanku layaknya koin. Aku percaya Dia yang menciptakan manusia, bahkan setiap sel nya. Itu berarti Ia menciptakan aspek fisik dan emosional serta jiwa per orangnya. Karena itu, aku tidak suka. Hidupku memang baik – baik saja. Semua orang di sekelilingku tahu itu. Dari luar, mereka menyebut kami keluarga bahagia. Hidup cukup dan harmonis.
Masalahnya bukan dari luar. Tapi dari dalam. Dalam diriku. Entah apa yang Ia taruh di dalam setiap nadiku. Tapi yang jelas, yang Ia rekatkan di jiwaku itu selalu berteriak hal – hal yang memekakan telinga. Menyalahkanku. Selalu. Dan aku tidak terima kalau hanya aku satu – satunya makhluk di dunia ini yang dapat mendengar semua teriakan itu....”
Tapi bukan berarti aku membenciNya.
Aku tidak berani membenciNya karena di telingaku terngiang bahwa Allah sangat berkuasa dan aku tidak mau dikutukNya.
Aku tidak mau membenciNya, karena teringat di benakku bahwa Ia telah mati bagiku.
Saat aku di penghujung belasan tahun, seolah-olah Ia menyatakan diri. Berbeda dengan pikiranku saat aku kecil. Kupikir Ia akan datang padaku dengan segala kekuasaanNya atau api yang dahsyat. Namun ternyata Ia menyambutku dengan senyumNya yang hangat di pagi hari. Ia menangis bersamaku saat aku terluka. Dan Ia ada di sana tertawa padaku saat aku meraih juara lomba. Ia menyapaku dengan cara yang tidak pernah terpikirkan oleh benakku.
Bagiku kini Ia seperti seorang Penulis. Dunia dan isinya adalah kumpulan ceritanya. Setiap orang memiliki kisah hidupnya masing-masing, terencana dari ia lahir hingga ia kembali jadi debu. Dan setiap buku hidup seseorang berkaitan dengan buku hidup orang yang lainnya. Si A memiliki anak si B. Si C menikah dengan si D. Si E bertemu dengan si F dengan rekan bisnisnya. Konflik ini. Konflik itu.
Dunia ini berjalan seperti sebuah film yang diangkat dari kisah yang ditulis Allah. Aku membayangkan Allah tengah menonton dunia ini – mungkin seraya duduk di sofa yang hangat serta menikmati semangkuk penuh pop corn. Aku jadi ingin tahu perasaanNya saat melihat manusia yang dikasihiNya bangkit melawanNya. Atau saat mendengar makian dari manusia yang kecewa denganNya.
Aku membayangkan Ia juga melihatku. Ia melihatku saat aku berjalan untuk pertama kalinya. Ia melihatku saat aku lulus ujian akhir sekolah. Dan aku tahu Ia juga melihatku saat aku gagal. Saat aku tidak berhasil meraih apa yang kuimpikan sejak kecil. Saat itu aku merasa semuanya berantakan. Sangat berantakan. Entah apa yang ditulisNya tentang hidupku di bab itu. Namun saat aku berpikir untuk memulai kekecewaan dengan Allah, sebuah buku mengatakan padaku, bahwa Allah tidak bermain dadu. Tidak ada yang kebetulan. Bahkan bertemu dengan tukang sayur yang lewat di depan rumah pun bukan sebuah kebetulan.
Sama seperti novel. Si tokoh novel akan mengalami tahap pengenalan dan tentunya tahap konflik. Tahap konfilk adalah di mana semuanya terdengar buruk dan terlihat berantakan. Saat itulah manusia seringkali terlalu cepat menyimpulkan bahwa hidupnya adalah sebuah kegagalan. Manusia melupakan masih ada tahap akhirnya. Tahap penyelesaian. Tahap dimana semua pintu akan dibuka dan lampu dinyalakan. Di saat yang tepat, tiap manusia akan mengerti semua kegagalan yang ia alami akan berakhir pada kecemerlangan yang ada dalam skenario yang telah Allah buat untuk hidupnya. Asalkan ia mau sedikit bersabar dan percaya. Karena seperti seorang penulis, Allah pun tidak membiarkan ada sebuah huruf pun muncul di buku hidup seseorang tanpa alasan. Semua yang Ia tulis memiliki tujuan.
Sampai saat ini, aku masih berpikir bahwa aku tidak mampu berpikir tentang siapa Allah itu. Pikiranku masih terlalu sempit untuk menjelaskan dan benakku tidak akan pernah cukup luas untuk menampung fakta tentang siapa Dia. Dan memang aku tidak akan pernah bisa menjangkau keseluruhan tentang Allah.
Namun yang kumengerti kini hanya hal ini.
Allah tidak bermain koin.
Dan Dia juga tidak bermain dadu.
Dia seorang Penulis!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar