Prolog
Ia menarik sebuah anak panah lagi dari busurnya. Panah-panah di punggungnya bergesekan satu sama lain melepaskan aroma kayu Alp ke udara. Matanya menatap tajam sebuah pohon besar sejauh beberapa mil di depannya. Anak panah tadi diletakkannya di busur dan dilesatkannya. Tepat sasaran. Sekali lagi, dan hasilnya tepat pula. Kali ini ia hanya berdiri, menatap pohon menjadi sasaran panahnya. Entah berapa puluh bahkan berapa ratus anak panah yang telah dilesatkan dan mendarat di sana. Pohon itu kini bak pohon berduri yang besar. Dari jauh, pohon itu terlihat seperti sebuah lukisan abstrak dengan beberapa titik sembarang yang mengitari sebuah titik tengah yang tebal. Dari tempatnya berdiri, titik itu seperti noda cat hitam. Entah ada berapa puluh anak panah yang saling menumpuk di sana. Terpanah dan terbelah oleh panah lain yang baru ditembakkan. Ia berjalan melintasi pepohonan dan akhirnya berdiri di dekat pohon sasarannya. Aroma kayu Alp dari panah-panah yang terbelah semakin tercium kuat.
Leaf menyukai wangi ini. Ambigu. Aroma menenangkan sekaligus bau peperangan. Jika perang, aroma itu berpadu dengan bau darah dan daging yang terhempas ke angkasa. Ia menyukai perang. Ia telah menghabiskan lebih dari sepuluh tahun untuk menjadi seorang pemanah. Usianya masih dua puluh dua tahun, namun ia termasuk salah satu pemanah terbaik di Gelasia. Dan selama itu juga ia menanti peperangan besar dengan para gorgon, ataupun pasukan Thor yang menunggangi naga. Ia tidak sabar ingin menghadapi ribuan pasukan dermon serigala di hadapannya. Jika saat itu datang, ia akan mengarahkan busurnya dengan sepuluh anak panah langsung dan melesatkannya ke leher mereka. Jika panahnya habis, ia akan dengan senang hati menarik pedangnya dan mengayunkannya untuk menebas musuh. Ia telah menanti hal itu selama dua puluh dua tahun tujuh puluh sembilan hari, namun hari itu tidak kunjung datang. Jadi selama itu pulalah ia terpaksa puas hanya dengan menembaki serigala di hutan, ataupun pepohonan bisu yang tidak bergerak.
Membosankan.
Keef duduk di sebuah batu besar seraya memerhatikan Leaf yang mulai mencari pohon lain untuk dijadikan sasaran. Sebuah panah pertama ditembakkan. Melesat dan menjadi titik awal. Leaf melesatkan dua anak panah. Lagi-lagi tepat di tengah. Keef yakin berapa belas pun panah yang akan ditembakkan lagi, pasti akan mendarat di titik yang sama. Ia tahu Leaf telah bosan menunggu perang besar, sama seperti dirinya yang kini telah lelah menunggu Leaf latihan memanah. Ia berdiri dan melipat tangan. Misinya hari ini bukan hanya duduk dan memerhatikan acara panahan, tapi membujuk si keras kepala itu untuk ikut pergi ke Bukit Godine.
“Come on Leaf, ini pasti akan mengasyikkan. Kau bisa dengan puas menembaki singa ataupun serigala di hutan sepanjang perjalanan. Sasaranmu bukan pohon busuk ini, tapi mangsa bergerak di luar sana.” Ujarnya.
Leaf memutar bola matanya dan menatap Keef dingin seraya membisu. Ia menarik sebuah panah lagi, namun kali ini mengarahkannya pada Keef. Leaf tersenyum lebar. “Aku tidak perlu ke Godine untuk menemukan mangsa bergerak.”
Wajah Keef berubah. “Astaga, dia mulai lagi.” Keluhnya seraya mulai berlari.
Leaf melesatkan anak panahnya ke arah Keef, namun meleset. Sang cador berhasil menukik ke dekat pepohonan tepat waktu. Leaf menarik tiga anak panah sekaligus dan menembakkannya. Dengan lihai, sang Cador menghindari panah-panah yang mengincarnya. Leaf menggerutu dan menarik tujuh panah sekaligus.
“Caltha gila,” keluh Keef seraya mencabut pedang.
“Come on, Keef. Let’s get the party started!” Leaf menembakkan panahnya lebih banyak lagi secara beruntun. Keef mengayunkan pedangnya untuk menangkis hujan panah Leaf.
“More to come, Keef!!” teriak Leaf sambil tertawa keras dan kali ini ia melesatkan puluhan anak panah melintasi hutan. Ia menggumamkan beberapa kata dan menjentikkan jari. Dalam sekejap, panah yang tadi dilesatkannya terbakar seperti api, siap menerkam Keef.
Keef berhenti berlari. Leaf pasti baru saja menggunakan mantra Calthanya untuk menembakkan panah berapi ke arahnya. Cukup sudah. Selesai acara bermainnya. Ia akan mengakhiri semua permainan ini. Sang Cador menyarungkan pedangnya dan mengedipkan mata perlahan. Seketika itu juga, panah-panah api yang hampir menghampirinya membeku di udara dan jatuh ke tanah.
“Jangan gunakan sihirmu, Keef. Dasar curang.” Keluh Leaf.
“Cukup main-mainnya, Leaf. Kita harus bersiap-siap, kita akan berangkat ke Bukit Godine siang ini, jadi kita dapat sampai di sana sebelum gelap. Come on, Joses pasti telah menunggu kita.” Kata Keef seraya melangkah menuju sepupunya.
Leaf merengut dan kembali menembaki pohon besar yang menjadi sasaran barunya. “Tidak mau. Aku tidak perduli dengan apa yang telah terjadi. Itu bukan salahku. Piala waktu hilang karena memang sudah tidak diperlukan lagi. Jadi, buat apa kita mencari kembali Phillotra? Mereka pasti pergi ke Bukit Godine hanya untuk menemui tetua Avalon dan mengobrol dengan mereka. Musim dingin lalu, aku pernah ikut mereka ke sana, dan sangat membosankan. Di sana, bahkan tidak ada pohon besar. Kalaupun ada banyak dermon berkeliaran di gumpalan salju sana, aku selalu dilarang untuk keluar menembaki mereka.”
Keef menghela napas. “Apapun itu, tidak penting, Leaf. Ibumu baru saja mengirim seekor Erl yang membawakan pesan bahwa kita harus segera menyusul mereka ke Bukit Godine hari ini.”
“Tidak, Keef. Aku tidak mau, kau tidak dengar?”
“Kau harus pergi, Leaf,” sepenggal suara lain datang ke telinga mereka. Seorang Joses dan Gildas baru saja datang menghampiri mereka. “Kau harus pergi. Kita semua harus pergi. Masalah Phillotra tidak semudah yang kau bayangkan.” Kata Gildas singkat.
“Jangan melebih-lebihkan seperti itu, Uncle Gildas. Persoalan itu telah lama usai, dan tidak perlu diurusi lagi.” Kilah Leaf.
“ Mereka membutuhkan bantuan kita, Leaf.” Kali ini Joses sang Avalon angkat bicara. Ingin rasanya ia mengeluh. Bahkan kalau bisa, setiap kali ada misi, Leaf lebih baik tidak perlu ikut. Membujuk Leaf untuk ikut lebih lama daripada menyelesaikan misi itu sendiri. Caltha yang satu ini memang merepotkan, pikirnya.
“Tidak, aku tidak akan kesana.”
Keef dan Joses memandang Gildas penuh harap. Mereka berdua seusia dengan leaf, dan Caltha itu pasti tidak akan mau mendengarkan mereka. Gildas berusia jauh lebih tua dan bijaksana dari mereka. Leaf pasti lebih menurutnya pada perkataannya. Gildas menghampiri Leaf dan menatapnya. “Kau sudah pernah dengar cerita perjuangan kami saat Phillotra pecah untuk yang pertama kali?”
“Sudah, Uncle Seth menceritakannya. Batu itu pecah dan kalian berjuang untuk menyatukannya kembali. Fin.” Ujar Leaf malas.
Gildas menggeleng. “Aku yakin Seth hanya menceritakan bagian saat ia berhasil mengalahkan pasukan Thor dan tampil sebagai pahlawan. Dia memang Avalon banyak omong.” Gerutu Gildas. “Biar kuceritakan yang selengkapnya, lengkap dengan peperangannya, kemudian kau boleh memutuskan untuk tidak ikut.”
Leaf duduk di sebuah batu besar, memutar mata, dan melipat tangan. “Deal.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar