Search

Jumat, 26 Februari 2010

Allah Tidak Bermain Koin, juga Tidak Bermain Dadu. Ia Seorang Penulis!


Aku tidak mampu berpikir tentang siapa Allah itu. Pikiranku terlalu sempit untuk menjelaskan dan benakku tidak cukup luas untuk menampung fakta tentang siapa Dia. Namun saatku kecil, aku mendengar tentang Dia dari orang-orang di sekitarku. Dari orang tua, kakek, nenek, saudara, teman-teman. Semua kata-kata mereka memicu bayanganku tentang Allah. Aku berpikir Dia pasti seorang Raja yang besar, duduk di kursi kebesaranNya dan terselubungi jubah emas yang besar. Dia seperti penyihir yang memiliki kekuatan tiada batas. Tak lekang oleh ruang dan waktu.

Saat aku duduk di SMP, aku menemukan diriku teronggok bak sampah yang tiada artinya. Aku mulai mengerutkan dahi saat mendengar perkataan bahwa Allah menyediakan yang baik bagi manusia. Saat aku melihat hidupku, aku pikir Allah seperti tengah berjudi. Rasanya seolah-olah Dia tengah bermain lempar koin, dan hidupku sebagai koinnya. Aku ingat saat itu aku senang menulis, dan aku menulis hal ini di salah satu cerpenku :

“Manusia sebuah sistem tercanggih yang pernah ada. Pikiran Penciptanya sangat tidak terjangkau. Ratusan juta tahun atau bahkan milyaran, triliunan sudah usia bumi ini, tapi masih tidak cukup juga untuk mengerti seluk beluk biologis seonggok tubuh yang namanya manusia.

Tapi, itu bukan berarti aku mengagumi The Creator.

Aku menyebut diriku Koin. Karena rasanya Dia mempermainkanku layaknya koin. Aku percaya Dia yang menciptakan manusia, bahkan setiap sel nya. Itu berarti Ia menciptakan aspek fisik dan emosional serta jiwa per orangnya. Karena itu, aku tidak suka. Hidupku memang baik – baik saja. Semua orang di sekelilingku tahu itu. Dari luar, mereka menyebut kami keluarga bahagia. Hidup cukup dan harmonis.

Masalahnya bukan dari luar. Tapi dari dalam. Dalam diriku. Entah apa yang Ia taruh di dalam setiap nadiku. Tapi yang jelas, yang Ia rekatkan di jiwaku itu selalu berteriak hal – hal yang memekakan telinga. Menyalahkanku. Selalu. Dan aku tidak terima kalau hanya aku satu – satunya makhluk di dunia ini yang dapat mendengar semua teriakan itu....”

Tapi bukan berarti aku membenciNya.

Aku tidak berani membenciNya karena di telingaku terngiang bahwa Allah sangat berkuasa dan aku tidak mau dikutukNya.

Aku tidak mau membenciNya, karena teringat di benakku bahwa Ia telah mati bagiku.

Saat aku di penghujung belasan tahun, seolah-olah Ia menyatakan diri. Berbeda dengan pikiranku saat aku kecil. Kupikir Ia akan datang padaku dengan segala kekuasaanNya atau api yang dahsyat. Namun ternyata Ia menyambutku dengan senyumNya yang hangat di pagi hari. Ia menangis bersamaku saat aku terluka. Dan Ia ada di sana tertawa padaku saat aku meraih juara lomba. Ia menyapaku dengan cara yang tidak pernah terpikirkan oleh benakku.

Bagiku kini Ia seperti seorang Penulis. Dunia dan isinya adalah kumpulan ceritanya. Setiap orang memiliki kisah hidupnya masing-masing, terencana dari ia lahir hingga ia kembali jadi debu. Dan setiap buku hidup seseorang berkaitan dengan buku hidup orang yang lainnya. Si A memiliki anak si B. Si C menikah dengan si D. Si E bertemu dengan si F dengan rekan bisnisnya. Konflik ini. Konflik itu.

Dunia ini berjalan seperti sebuah film yang diangkat dari kisah yang ditulis Allah. Aku membayangkan Allah tengah menonton dunia ini – mungkin seraya duduk di sofa yang hangat serta menikmati semangkuk penuh pop corn. Aku jadi ingin tahu perasaanNya saat melihat manusia yang dikasihiNya bangkit melawanNya. Atau saat mendengar makian dari manusia yang kecewa denganNya.

Aku membayangkan Ia juga melihatku. Ia melihatku saat aku berjalan untuk pertama kalinya. Ia melihatku saat aku lulus ujian akhir sekolah. Dan aku tahu Ia juga melihatku saat aku gagal. Saat aku tidak berhasil meraih apa yang kuimpikan sejak kecil. Saat itu aku merasa semuanya berantakan. Sangat berantakan. Entah apa yang ditulisNya tentang hidupku di bab itu. Namun saat aku berpikir untuk memulai kekecewaan dengan Allah, sebuah buku mengatakan padaku, bahwa Allah tidak bermain dadu. Tidak ada yang kebetulan. Bahkan bertemu dengan tukang sayur yang lewat di depan rumah pun bukan sebuah kebetulan.

Sama seperti novel. Si tokoh novel akan mengalami tahap pengenalan dan tentunya tahap konflik. Tahap konfilk adalah di mana semuanya terdengar buruk dan terlihat berantakan. Saat itulah manusia seringkali terlalu cepat menyimpulkan bahwa hidupnya adalah sebuah kegagalan. Manusia melupakan masih ada tahap akhirnya. Tahap penyelesaian. Tahap dimana semua pintu akan dibuka dan lampu dinyalakan. Di saat yang tepat, tiap manusia akan mengerti semua kegagalan yang ia alami akan berakhir pada kecemerlangan yang ada dalam skenario yang telah Allah buat untuk hidupnya. Asalkan ia mau sedikit bersabar dan percaya. Karena seperti seorang penulis, Allah pun tidak membiarkan ada sebuah huruf pun muncul di buku hidup seseorang tanpa alasan. Semua yang Ia tulis memiliki tujuan.

Sampai saat ini, aku masih berpikir bahwa aku tidak mampu berpikir tentang siapa Allah itu. Pikiranku masih terlalu sempit untuk menjelaskan dan benakku tidak akan pernah cukup luas untuk menampung fakta tentang siapa Dia. Dan memang aku tidak akan pernah bisa menjangkau keseluruhan tentang Allah.

Namun yang kumengerti kini hanya hal ini.

Allah tidak bermain koin.

Dan Dia juga tidak bermain dadu.

Dia seorang Penulis!

Rabu, 24 Februari 2010

Tidak ada yang kebetulan

Tidak ada yang kebetulan, karena semuanya telah diatur. Seseorang pernah mengatakan padaku bahwa merasakan hidup yang berantakan sama seperti seorang anak kecil dijanjikan sebuah jaket rajut oleh ibunya. Dari pandangan si anak, rajutan ibunya terlihat sangat berantakan. Si anak tentu kecewa dan mengeluh, bahkan mungkin ia percaya bahwa jaket yang ia harapkan tidak akan ada. Ia melihat sebuah kegagalan.

Namun ada saatnya, saat rajutan itu selesai, sang Ibu akan membawa si anak duduk di pangkuannya dan menunjukkan sebuah jaket rajut yang sangat indah. Sama seperti Dia, pikirku. Manusia kadang terlalu fokus pada bentuk rajutan yang berantakan. Kita mengeluh dan kecewa pada Allah, padahal Dia akan menyediakan saat yang tepat. Di saat itu, Ia akan membawa kita naik ke pangkuanNya, dan Ia akan menunjukkan jaket rajutNya yang indah.

Sabtu, 13 Februari 2010

Gantt Chart (Chapter One)

LAPORAN PRAKTIKUM

MODUL 9

FAAL KERJA

Shift / Kelompok :

2 / 06

Anggota :

1. Merlin Alois (01706800114)

2. Abigail (01706800115)

3. Lea Subagdja (01706800130)

4. Zefanya (01706800155)

Asisten

REZON

LABORATORIUM ANALISIS PERANCANGAN KERJA DAN ERGONOMI

JURUSAN TEKNIK INDUSTRI

FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI

UNIVERSITAS PELITA INDONESIA

BANDUNG

2008






BAB I

KENNETH VS DOUGLAS

I.1 Latar Depan[1] Masalah

‘I say nan algo sheep'eunde

neol pomyeon mamee teollyeo-oneun nareul

aesseodo wemyeonghaedo aneerago haedo

Im so in love with you

kyeolgoogen neoeende……’

Terdengar suara Jeong Jae Wook di sela – sela ketikan keyboard. Lagu itu sudah diputar 198 kali, sampai Mr. Winamp bosan. Namun, Abi sendiri tidak ngeh kalau dari tadi dia mendengarkan lagu yang sama. Sejak pulang kampus jam 4 sore tadi, dia langsung melesat masuk apartemennya dan stand by di komputer. Bersemayam dengan tenang di kursi sampai lupa makan – minum, cuma sesekali ingat untuk memancing di kedua lubang hidungnya.

Jam 1 subuh. Bajunya masih sama dengan yang tadi ia pakai di kampus. Segitu serunya sampai Abi sama sekali tidak kepikiran untuk tidur. Masih saja klik sana, klik sini. Ngetik sana….ngetik sini…..

“ABI !! ADA TELEPON MASUK!!”

“Mmmh…”

“ABI !! ADA TELEPON NIH!!”

“Iya, iya…..bentar dong, kagok nih…”

“ABI !! TELEPONNYA DIANGKAT DONG!! INI RINGTONE, TAU?!! JADI JANGAN CUMA NGOMONG ‘IYA, IYA’ ….!!!”

Cuma ringtone?? Abi menepuk ringan jidatnya. Oh iya,…. untung Merlin kepikiran buat nambahin kalimat terakhir. kalo ga, mungkin sampai minggu depan, incoming call cuma dijawab ‘iya, iya…’

Kenneth calling…. aduh, mau apa lagi sih? dari tadi telepon melulu. Ini sudah yang ke – 12 kali, nih!!

“Mmh…..”

“Halo lagi, Abi sayang, udah makan, belum?”

“Mmh…..”

“Eh,….lo udah tidur ya? Sorry, sorry….”

“Nggak kok, masih sama si Douglas…”

“Masih sama Douglas?? Subuh gini??”

“Ya iyalah…”

“Ya udah……, tapi besok kita jalan, ya. Tadi sore kan nggak jadi. Lagipula kita memang udah lama nggak pergi bareng. Gue bela – belain belum nonton Indiana Jones demi nonton bareng lo….”

“Aduh, nonton Indiana sih sendiri aja di Star Sports. Kayaknya minggu ini Pacers memang ada match, kok….”

Suara di seberang menghilang untuk beberapa detik.

“…..Abi sayang, Indiana Jones itu film, bukan tim basket NBA.” terdengar suara Kenneth yang mencoba tabah. “ Jadi besok OK, ya?”

“Aduh, nggak bisa. Besok Gue harus sama Douglas lagi….”

“SAMA DOUGLAS LAGI?!!” Nada suara Kenneth meninggi. “Listen Abi, Gue udah muak dengan segala kesibukan lo bersama mereka. Sejak kita jadian 4 bulan lalu, acara kita berdua tuh bisa dihitung pakai jari. Setiap Gue ngajak lo pergi, selalu saja segudang alasan. Sibuk inilah, itulah….Dulu sama Hawthorne, sekarang sama Douglas. Gue udah nggak bisa tolerir lagi!! SEKARANG, PILIH GUE ATAU MEREKA!!”

“Mmh….”

Kenneth menarik napas emosi. “ABIGAIL, LO PILIH GUE ATAU MEREKA?”

“Ya jelas, Gue pilih mereka.”

Terdengar kegeraman dari seberang sana. Kenneth menghilang untuk beberapa saat. “OK. FINE!!” …tut….tut……..

Tanpa ekspresi, Abi meletakkan ponselnya terdiam. Melipat kedua kakinya di atas kursi seraya berpangku tangan. Kemudian ia mengerutkan kening, dan memandang kosong ke arah lain. Namun, sesaat kemudian, ia tertawa kecil sambil tetap beralih kembali pada layar komputernya.

“Akhirnya….” gumamnya. Kemudian dengan semangat, Abi kembali mengetik…

III.5 Pengukuran zat asam (oxygen analyzer / DOUGLAS Bag)


E 5 . A

dengan A = L O2/menit

E = kkal/menit


Pengukuran denyut jantung

Y = 1,80411 – 0,0229038 + 4,71733 . 10-4 . X2


dengan X = denyut/menit,

Y = energi yang dikeluarkan รจ kkal/menit



[1] Latar depan, bukan latar belakang. Soalnya adanya di depan masalah, alias prolog. Garing ya? Well, gue cuma pesen. Di halaman selanjutnya, lo emang bakal nemuin hal – hal yang nggak penting n nggak lucu. Jadi lo nggak perlu repot – repot ngabisin tenaga buat ketawa, OK?!

Goblet of Time (The Prolog)

Prolog

Ia menarik sebuah anak panah lagi dari busurnya. Panah-panah di punggungnya bergesekan satu sama lain melepaskan aroma kayu Alp ke udara. Matanya menatap tajam sebuah pohon besar sejauh beberapa mil di depannya. Anak panah tadi diletakkannya di busur dan dilesatkannya. Tepat sasaran. Sekali lagi, dan hasilnya tepat pula. Kali ini ia hanya berdiri, menatap pohon menjadi sasaran panahnya. Entah berapa puluh bahkan berapa ratus anak panah yang telah dilesatkan dan mendarat di sana. Pohon itu kini bak pohon berduri yang besar. Dari jauh, pohon itu terlihat seperti sebuah lukisan abstrak dengan beberapa titik sembarang yang mengitari sebuah titik tengah yang tebal. Dari tempatnya berdiri, titik itu seperti noda cat hitam. Entah ada berapa puluh anak panah yang saling menumpuk di sana. Terpanah dan terbelah oleh panah lain yang baru ditembakkan. Ia berjalan melintasi pepohonan dan akhirnya berdiri di dekat pohon sasarannya. Aroma kayu Alp dari panah-panah yang terbelah semakin tercium kuat.

Leaf menyukai wangi ini. Ambigu. Aroma menenangkan sekaligus bau peperangan. Jika perang, aroma itu berpadu dengan bau darah dan daging yang terhempas ke angkasa. Ia menyukai perang. Ia telah menghabiskan lebih dari sepuluh tahun untuk menjadi seorang pemanah. Usianya masih dua puluh dua tahun, namun ia termasuk salah satu pemanah terbaik di Gelasia. Dan selama itu juga ia menanti peperangan besar dengan para gorgon, ataupun pasukan Thor yang menunggangi naga. Ia tidak sabar ingin menghadapi ribuan pasukan dermon serigala di hadapannya. Jika saat itu datang, ia akan mengarahkan busurnya dengan sepuluh anak panah langsung dan melesatkannya ke leher mereka. Jika panahnya habis, ia akan dengan senang hati menarik pedangnya dan mengayunkannya untuk menebas musuh. Ia telah menanti hal itu selama dua puluh dua tahun tujuh puluh sembilan hari, namun hari itu tidak kunjung datang. Jadi selama itu pulalah ia terpaksa puas hanya dengan menembaki serigala di hutan, ataupun pepohonan bisu yang tidak bergerak.

Membosankan.

Keef duduk di sebuah batu besar seraya memerhatikan Leaf yang mulai mencari pohon lain untuk dijadikan sasaran. Sebuah panah pertama ditembakkan. Melesat dan menjadi titik awal. Leaf melesatkan dua anak panah. Lagi-lagi tepat di tengah. Keef yakin berapa belas pun panah yang akan ditembakkan lagi, pasti akan mendarat di titik yang sama. Ia tahu Leaf telah bosan menunggu perang besar, sama seperti dirinya yang kini telah lelah menunggu Leaf latihan memanah. Ia berdiri dan melipat tangan. Misinya hari ini bukan hanya duduk dan memerhatikan acara panahan, tapi membujuk si keras kepala itu untuk ikut pergi ke Bukit Godine.

“Come on Leaf, ini pasti akan mengasyikkan. Kau bisa dengan puas menembaki singa ataupun serigala di hutan sepanjang perjalanan. Sasaranmu bukan pohon busuk ini, tapi mangsa bergerak di luar sana.” Ujarnya.

Leaf memutar bola matanya dan menatap Keef dingin seraya membisu. Ia menarik sebuah panah lagi, namun kali ini mengarahkannya pada Keef. Leaf tersenyum lebar. “Aku tidak perlu ke Godine untuk menemukan mangsa bergerak.”

Wajah Keef berubah. “Astaga, dia mulai lagi.” Keluhnya seraya mulai berlari.

Leaf melesatkan anak panahnya ke arah Keef, namun meleset. Sang cador berhasil menukik ke dekat pepohonan tepat waktu. Leaf menarik tiga anak panah sekaligus dan menembakkannya. Dengan lihai, sang Cador menghindari panah-panah yang mengincarnya. Leaf menggerutu dan menarik tujuh panah sekaligus.

Caltha gila,” keluh Keef seraya mencabut pedang.

“Come on, Keef. Let’s get the party started!” Leaf menembakkan panahnya lebih banyak lagi secara beruntun. Keef mengayunkan pedangnya untuk menangkis hujan panah Leaf.

“More to come, Keef!!” teriak Leaf sambil tertawa keras dan kali ini ia melesatkan puluhan anak panah melintasi hutan. Ia menggumamkan beberapa kata dan menjentikkan jari. Dalam sekejap, panah yang tadi dilesatkannya terbakar seperti api, siap menerkam Keef.

Keef berhenti berlari. Leaf pasti baru saja menggunakan mantra Calthanya untuk menembakkan panah berapi ke arahnya. Cukup sudah. Selesai acara bermainnya. Ia akan mengakhiri semua permainan ini. Sang Cador menyarungkan pedangnya dan mengedipkan mata perlahan. Seketika itu juga, panah-panah api yang hampir menghampirinya membeku di udara dan jatuh ke tanah.

Jangan gunakan sihirmu, Keef. Dasar curang.” Keluh Leaf.

Cukup main-mainnya, Leaf. Kita harus bersiap-siap, kita akan berangkat ke Bukit Godine siang ini, jadi kita dapat sampai di sana sebelum gelap. Come on, Joses pasti telah menunggu kita.” Kata Keef seraya melangkah menuju sepupunya.

Leaf merengut dan kembali menembaki pohon besar yang menjadi sasaran barunya. “Tidak mau. Aku tidak perduli dengan apa yang telah terjadi. Itu bukan salahku. Piala waktu hilang karena memang sudah tidak diperlukan lagi. Jadi, buat apa kita mencari kembali Phillotra? Mereka pasti pergi ke Bukit Godine hanya untuk menemui tetua Avalon dan mengobrol dengan mereka. Musim dingin lalu, aku pernah ikut mereka ke sana, dan sangat membosankan. Di sana, bahkan tidak ada pohon besar. Kalaupun ada banyak dermon berkeliaran di gumpalan salju sana, aku selalu dilarang untuk keluar menembaki mereka.”

Keef menghela napas. “Apapun itu, tidak penting, Leaf. Ibumu baru saja mengirim seekor Erl yang membawakan pesan bahwa kita harus segera menyusul mereka ke Bukit Godine hari ini.”

Tidak, Keef. Aku tidak mau, kau tidak dengar?”

Kau harus pergi, Leaf,” sepenggal suara lain datang ke telinga mereka. Seorang Joses dan Gildas baru saja datang menghampiri mereka. “Kau harus pergi. Kita semua harus pergi. Masalah Phillotra tidak semudah yang kau bayangkan.” Kata Gildas singkat.

Jangan melebih-lebihkan seperti itu, Uncle Gildas. Persoalan itu telah lama usai, dan tidak perlu diurusi lagi.” Kilah Leaf.

Mereka membutuhkan bantuan kita, Leaf.” Kali ini Joses sang Avalon angkat bicara. Ingin rasanya ia mengeluh. Bahkan kalau bisa, setiap kali ada misi, Leaf lebih baik tidak perlu ikut. Membujuk Leaf untuk ikut lebih lama daripada menyelesaikan misi itu sendiri. Caltha yang satu ini memang merepotkan, pikirnya.

Tidak, aku tidak akan kesana.”

Keef dan Joses memandang Gildas penuh harap. Mereka berdua seusia dengan leaf, dan Caltha itu pasti tidak akan mau mendengarkan mereka. Gildas berusia jauh lebih tua dan bijaksana dari mereka. Leaf pasti lebih menurutnya pada perkataannya. Gildas menghampiri Leaf dan menatapnya. “Kau sudah pernah dengar cerita perjuangan kami saat Phillotra pecah untuk yang pertama kali?”

Sudah, Uncle Seth menceritakannya. Batu itu pecah dan kalian berjuang untuk menyatukannya kembali. Fin.” Ujar Leaf malas.

Gildas menggeleng. “Aku yakin Seth hanya menceritakan bagian saat ia berhasil mengalahkan pasukan Thor dan tampil sebagai pahlawan. Dia memang Avalon banyak omong.” Gerutu Gildas. “Biar kuceritakan yang selengkapnya, lengkap dengan peperangannya, kemudian kau boleh memutuskan untuk tidak ikut.”

Leaf duduk di sebuah batu besar, memutar mata, dan melipat tangan. “Deal.”