Eve and Her Quillon
Writing is a solitary occupation. Family, friends, and society are the natural enemies of the writer. He must be alone, uninterrupted, and slightly savage if he is to sustain and complete an undertaking. (JESSAMYN WEST)
Search
Senin, 13 Desember 2010
Jiwa dan Ego
Edna dan Tierra
Jumat, 10 Desember 2010
Ada yang Tidak Ada
Ada.
Tidak ada.
Tidak meraup yang ada.
Memeluk yang tidak ada.
Merajut kepingan yang tidak ada.
Menyusun yang ada dari yang tiada.
Membingkai yang ada dengan yang tidak ada.
Memamerkan yang tidak ada namun seolah ada.
Apa itu ada?
Apa itu tidak ada?
Tidak adakah yang ada?
Atau adakah yang tidak ada?
Tidak ada yang menjawab ada.
Dan aku tidak menemukan yang menjawab tidak ada.
Sabtu, 27 Maret 2010
bad Mood...
Senin, 22 Maret 2010
today
Selasa, 02 Maret 2010
KADO BUAT TUHAN
Kata orang-orang, natal itu ulang tahun Tuhan. Pada natal tahun lalu, aku ingin sekali memberi kado dan membuat Tuhan senang. Tapi aku bingung, kira-kira kado apa yang cocok untukNya.
Aku dan kakakku selalu bertengkar, karena berebut barang atau dia tidak mau main bersamaku. Mama dan papa sering marah kalau kami mulai bertengkar. Kata papa, Tuhan sedih kalau kami ribut, jadi aku dan kakak harus rukun dan damai. Aku tidak mau membuat Tuhan sedih, tapi tetap saja aku sering ribut dengan kakak, habis dia nakal!!
Suatu hari, di TV aku melihat banyak sekali orang berlari sambil membawa kayu, ada yang melempar batu, ada juga yang sedang berkelahi. Aku mendengar suara tembakan, teriakan, pokoknya mengerikan sekali! Di pinggir jalan ada orang sedang terbaring, kepala dan wajahnya penuh darah. Kaca-kaca toko pecah, orang-orang mendobrak pagar, dan membakar mobil. Aku jadi takut sekali melihatnya. Tiba-tiba mama datang dan saat melihatku, ia segera mematikan TV.
"Yang namanya perang seperti itu, Ma?" tanyaku.
“Iya, bahkan bisa lebih parah,"
"Ih, seram?! Kok bisa muncul perang?" tanyaku lagi. Kata mama, penyebabnya bisa macam-macam. Bisa karena saling iri, egois, atau perbedaan pendapat.
"Kalau perang saudara itu apa?" dulu aku pernah mendengar kakak sedang belajar sejarah tentang perang saudara.
"Itu artinya perang antar saudara. Bisa kakak dengan adik, paman dengan keponakan, dan lain-lain. Biasanya mereka berebut kekuasaan atau tahta," kata mama. "awalnya bertengkar, lama kelamaan jadi perang."
"Berarti seperti aku dan kakak, bertengkar terus. Nanti bisa jadi perang?"
"Ya tidak," kata mama sambil tersenyum. "asal kamu sama kakak akur, tidak bertengkar lagi. Kakak itu sebenarnya sayang sama kamu, nah kamu juga harus sayang sama kakak. Jangan bertengkar terus."
Aku janji tidak akan membuat kakak kesal lagi. Aku tidak mau ada perang saudara ataupun tawuran yang tadi ada di TV. Aku juga mau bilang sama teman-teman yang lain supaya damai dengan saudaranya. Kalau semua orang damai sama saudaranya, tidak akan ada perang di dunia ini. Tapi kata mama, bukan hanya damai dengan kakak atau saudara saja, tapi juga dengan tetangga, teman, dan semua orang. Semua masalah dan perbedaan pendapat kan pasti bisa diselesaikan dengan cara selain kekerasan.
Aku ingin sekali bisa melihat semua orang rukun, setiap orang bisa jalan-jalan keluar rumah tanpa rasa takut, tidak ada tembak-tembakan, tidak ada darah, ataupun keributan. Mama juga bilang untuk mencapai itu semua harus dimulai dari tiap orang. Kalau setiap orang di dunia ini mau menghormati satu sama lain, pasti dunia bisa hidup damai dan tenang, tidak ada kekerasan ataupun ketakutan. Kata papa, Tuhan akan senang kalau dunia ciptaanNya rukun dan tenteram.
Ah, mulai besok aku akan menjalankan misi mendamaikan dunia!! Langkah pertama, aku akan minta maaf sama kakak. Dan kalau dunia sudah damai, aku akan memberikannya pada Tuhan sebagai kado ulang tahun!!
Sepasang Sepatu Balet
Seorang gadis tersudut di dalam gelapnya lemari, sekelam hidup dan air matanya. Setiap cercaan dan hinaan menyayat lukanya lebih dalam lagi. Lebih bau dari telur yang dilemparkan kepadanya. Lebih busuk dari apel berulat yang mereka taruh di dalam tasnya.
Seorang gadis terpuruk di dalam gelap locker sekolahnya. Mendekap sisa – sisa reruntuhan yang pernah menjadi istana impiannya. Sepatu balet yang hanya satu – satunya, dipeluknya. Kusam dan koyak. Sekoyak hatinya yang kini tanpa asa. Gelap. Kelam. Pendaran di ujung lorong itu seolah lenyap entah ke mana.
Seorang penari balet di kotak mainannya berhenti menari.
Menyerah dan menangis.
Terluka.
Mati.
Lewat lubang angin di pintu locker, ia masih bisa melihat mereka. Yang membuatnya bersembunyi selama istirahat ataupun sepulang sekolah. Yang mengambil tasnya dan mengoper – operkannya ke yang lain. Yang menertawai bola matanya yang berbeda. Para gadis memasukkan selai basi ke dalam sepatu baletnya dan membuangnya ke selokan. Mereka yang menertawai impiannya menjadi seorang balerina.
Ia pernah berjanji pada ibunya untuk menjadi seorang penari balet yang cantik dan anggun. Menari disinari lingkaran halo dengan lemah gemulai. Bak seorang malaikat yang terbang dari sisi panggung ke sisi lainnya. Mengikuti alunan nada lembut dan hangat. Memberikan putaran terbaiknya di hadapan para penonton dan tersenyum saat berhasil melakukannya dengan sempurna.
Ia pernah berjanji hal itu pada ibunya.
Dan gadis itu menangis lagi mengingatnya.
Itu janji terakhir yang didengar ibunya. Tepat sebelum meninggal.
Ia berusaha keras belajar dan berlatih. Tidak perduli ujung kakinya bengkak ataupun pergelangannya yang terkilir. Tanpa menghiraukan seperih apa luka jatuhnya, ia tetap berlatih sebaik yang ia bisa untuk menjadi seorang ballerina. Namun, ……nilainya tetap yang terburuk dan ia selalu dikeluarkan dari setiap sekolah balet yang diikutinya. Semua orang menyebutnya tidak berbakat dan lebih baik berhenti mencoba.
“Kenapa sih kau tidak pernah bisa berputar dengan sempurna??!”
“Selalu, selalu, dan selalu. Kau selalu mengacaukan formasinya!!”
“Kau penari terburuk yang pernah kulihat dalam hidupku!!”
Kau tidak akan pernah berhasil menjadi ballerina, Ally.
Seorang gadis kurus mungil tanpa daya meringkuk di pekatnya ruangan sempit. Menyalahkan dirinya atas semua cercaan yang menghampirinya. Mengapa ia tidak seberbakat Lora atau seluwes Karin?!! Ia berlatih jauh lebih lama dan lebih giat dibandingkan mereka!! Mengapa mereka yang mendapat kesempatan dalam konser utama?!! Mengapa mereka selalu merendahkanku?!! AKU TELAH BERUSAHA DENGAN KEKUATAN TERBAIK YANG KUMILIKI!! KENAPA MASIH SAJA AKU…G..A..G..A..L..!!
Terdengar keributan di luar sana. Perlahan ia mengintip untuk melihat keluar. Mereka menemukannya. Para gadis dan orang – orang itu menunggunya di depan locker sambil tertawa puas. Mereka yang merasa menjadi penguasa sekolah dan yang terhebat, memukul – mukul lemari dan menyuruhnya keluar.
Sang gadis gemetar di balik pintu besinya. Ia meringkuk ketakutan seraya menangis memeluk sepatu balet kusamnya. Sebelum meninggal, ibunya memberikan sepasang sepatu itu padanya, untuk dipakai suatu hari nanti di sebuah panggung yang bercahaya. Hanya dua buah sepatu belel yang bahkan tidak pernah cocok berada di lantai kayu mengkilap. Karena itulah mereka membuangnya. Bagi mereka, itu hanyalah sebuah sampah.
“Keluar Ally!! Jangan cengeng begitu, penari gagal!! Ayo keluar!!” lebih banyak lagi pukulan di pintu. Suara – suara itu begitu menakutkan, membuatnya tidak bergerak. Ia mendekap sepatu itu lebih keras lagi. Tolong aku, ibu…..tolong aku…..
Pintu itu terbuka. Mereka mencongkelnya.
Para gadis itu menariknya keluar. Namun Ally tetap meringkuk di dalam, membuat mereka memaksanya lebih keras lagi. Gadis itu jatuh ke lantai. Disambut tawaan dan ejekan. Mereka mengambil tasnya dan mengisinya dengan cicak hidup. Seorang gadis lain melihat sepatu yang dipeluk Ally dan berusaha merampasnya.
Ally memeluk sepatunya lebih erat lagi. “Jangan…., kumohon,….jangan….”
Para gadis itu tidak perduli. Beberapa dari mereka menahan Ally sementara Lora, si ballerina handal merampas satu – satunya harta gadis malang itu. Mereka menertawai sepatu itu dan Ally secara bergantian. Gadis itu terkulai tidak berdaya, menatap dengan lemah saat mereka menyayat sepatu baletnya.
Sepasang sepatu balet ibunya.
“…..jangan, kumohon…..jangan….jangan….” tangannya berusaha menggapai miliknya yang paling berharga. Itu kenangan terindah bersama ibunya. Itu sebuah janji terakhirnya pada sang ibu.
Lora tertawa puas bersama teman – temannya menikmati tatapan terkulai lemah itu. “Seorang gadis juling tidak berbakat sepertimu…..” ia menunduk dan melontarkan kalimat itu di depan wajah Ally. “…..lebih baik memiliki sepasang sepatu balet yang seperti ini! “ Lora meludahi sepatu di tangannya kemudian melemparnya.
Mereka pergi. Hanya tersisa seorang gadis dengan tangisan lukanya yang teronggok di tengah lorong sekolah. Dingin dan sepi. Perlahan ia meraih sepatu balet miliknya yang telah koyak, mendekapnya. Menangisi impiannya yang telah hancur, sekoyak sepatu itu. Air matanya bergulir satu satu, menampakkan luka yang telah begitu dalam. Membusuk ngilu. Angin bertiup kencang menyusuri lorong, melewatinya dengan dingin meniup hilang setiap harapannya.
Hilang entah ke mana.
Joel mungkin akan mengunjunginya hari ini dan melihat tempat barunya. Jadi dia memutuskan untuk membereskan semuanya. Para pakaian dan pajangan sudah berada di tempatnya. Kos barunya lengkap dengan segala perlengkapannya yang telah tertata rapi. Dan sebagai tetangga yang baik, saatnya menyapa teman di sebelah kamar. Aleeta melangkah menuju pintu sebelah kamarnya, sekaligus siapa tahu mereka bisa makan siang bersama.
Ia mengetuk pintu kayu polos dan memikirkan kata sapaan apa yang sebaiknya ia lontarkan untuk pertama kali. Apa sebuah ‘ hai’ sudah cukup? Atau …….’halo, apa kabar? Aku temanmu yang baru, namaku Aleeta, siapa namamu?’……yang benar saja, itu terdengar seperti seorang anak TK menyapa temannya.
Aleeta mengetuk sekali lagi. Tidak ada yang menyambutnya dari balik pintu itu. Apa teman sebelah kamarnya tengah keluar?? Aleeta mengurungkan niatnya dan hendak kembali ke kamarnya tepat saat terdengar samar – samar suara dari ruangan itu. Ia menyapa dan menanyakan apa dia boleh masuk. Pintu itu ternyata tidak terkunci dan tersenggol hingga terbuka. Perlahan Aleeta melongok masuk dan kembali menyapa.
Ruangan itu sangat berantakan. Seprainya kusut dan menjuntai ke lantai. Pakaian berhamburan keluar dari lemari. Rak – rak buku dipenuhi berbagai barang yang tidak rapi. Wah, mama bisa cerewet nih, kalau kamar putrinya seperti ini, pikir Aleeta. Ia kembali memandang di sekitarnya. Majalah dan buku berserakan di lantai. Poster di dinding tergantung miring. Ada apa sih??
Kemudian ia menemukannya.
Gadis itu di sana. Duduk di sebuah sofa oranye , menunduk. Rambut panjangnya kusut tidak beraturan. Aleeta tertegun menatapnya. Sedikit ketakutan namun ia ingin tahu apa yang telah terjadi. Perlahan ia melangkah mendekat, namun tidak dihiraukan. Hingga akhirnya sebuah pemandangan mengerikan itu tampak jelas. Cairan merah kental menetesi sofa oranye, turun dari jarinya. Gadis itu tengah menyilet- nyilet lengannya!!
“Ya Tuhan !!!” pekik Aleeta saat tersadar. Ia segera menghampiri gadis itu dan merebut silet dari tangannya. Dia tidak melawan, hanya memperdengarkan tangisan pilu seraya menunduk dalam – dalam.
“Apa yang sedang kau lakukan?!” seru sang tetangga baru dengan cemas. Gadis itu tidak menjawab dan terus menangis.
Aleeta berusaha mencari jawaban dengan kembali memandang ruangan berantakan itu. Sangat berantakan. Seolah – olah telah terjadi perampokan atau tindakan kriminal. Jangan – jangan gadis itu baru saja diperkosa??!! Di tengah pikirannya yang berkecamuk mencari jawaban, ia menangkap sesuatu dari ruangan itu. poster, hiasan, majalah, semuanya tentang balet.
Kemudian ia menemukannya.Sepasang sepatu balet kusam dan sobek. Sepertinya dirusak atau disayat dengan benda tajam. Kedua tali karetnya putus dan sepatu krem itu berlubang di mana – mana. Benar – benar mengerikan. Tidak dapat dipakai. Hanya tinggal menunggu waktu untuk dibuang.
“….me-mereka menyayatnya…..mereka merusaknya….” Untuk pertama kalinya Aleeta mendengar suara meluncur dari bibir gadis itu. lirih. Gemetar. Ketakutan. Gadis itu mengangkat wajahnya. Ada yang berbeda dengan tatapannya. Ia juling.
Namun saat Aleeta memandang kedua bola mata di hadapannya, ia merinding saat melihat apa yang terlihat di sana. Sebuah luka yang menganga besar, dilingkupi kegelapan dan kekelaman. Begitu mengerikan seperti mimpi yang terburuk. Belum pernah ia melihat tatapan sesakit itu.
“…sepatu itu….”
Gadis itu menunduk dan kembali menangis. “….bukan hanya itu…mereka menghancurkan semuanya…..impianku menjadi seorang ballerina. Gadis – gadis itu …..menyayat sepatu baletku…….sepatu yang diberikan ibuku….aku berjanji padanya…aku telah berjanji padanya, aku akan menjadi seorang ballerina. Menari anggun di panggung yang bersinar….ia mendengar janjiku….” Setiap kata diucapkannya dengan terpatah - patah. Aleeta merasakan hatinya dipenuhi perasaan pilu dan tiba – tiba matanya berkaca – kaca. Seolah ia dapat merasakan sakit hati yang menyelubungi sosok di hadapannya. “ ….tepat sebelum ia pergi…..ia mendengarku….” Tangisnya semakin keras. Kata – kata yang diucapkannya semakin terpatah – patah. “…..ibuku pergi sambil membawa janjiku….ia membawanya…”
Aleeta menangis bersamanya. Tidak perduli ini kali pertama ia bertemu dengan gadis itu. tidak perduli ia sama sekali belum mengenal sosok itu. Tapi saat mendengar tangisannya, Aleeta merasa ingin tetap di sampingnya. Mengetahui apa yang menimpanya.
“Mereka terus – menerus mengejekku…..mempermainkanku. menaruh cicak ke dalam tasku ataupun melempariku dengan telur busuk. Mereka menghina mataku yang juling dan menjadikannya olokan sepanjang hari…...” Suaranya menghilang untuk beberapa detik. Hening. “Tapi, mereka memang benar……aku memang tidak berharga….aku tidak pernah menemui titik terang ataupun harapan….semua tentangku hanyalah…..kegagalan….”
Aleeta menamparnya.Gadis di hadapannya melontarkan tatapan protes seraya memegangi pipinya yang berdenyut – denyut nyeri.
Aleeta menangis marah. “…kau tidak tahu tentang kegagalan!!! Dan ibumu pasti tidak suka melihatmu yang sekarang. Hanya menangis dan menyerah. Cengeng!! Aku yakin, dia tidak memimpikan putrinya jadi menyedihkan seperti ini!!!”
Kali ini sepasang bola mata malang itu menatapnya tajam. Penuh kemarahan. Ia telah berusaha dengan usaha terbaiknya….!! Sekali lagi Aleeta merinding, seolah – olah gadis itu berniat melumatnya. “Diam!” gadis itu membentaknya. “kau sama sekali tidak mengerti!! Kau bahkan tidak tahu namaku!! Sebaiknya kau pergi!!!”
“Tapi…” kata Aleeta pelan.
“Pergi.” Sebuah kata terluncur dengan dingin. Menusuk.
Aleeta bangkit. Harusnya ia tidak bicara segegabah itu. Mungkin akan lebih baik kalau tadi ia hanya diam. “Aku minta maaf,” katanya pelan. “ aku akan keluar, tapi please, jangan lukai dirimu lagi,” ia berjalan mundur perlahan, memastikan silet itu berada jauh dari jangkauan si malang.
Sang tetangga baru menutup pintu sambil menyesali kesalahannya. Terutama tamparannya tadi. Dia benar – benar tidak berhak melakukannya!! Aleeta menunduk dan menghapus air matanya. Aku hanya kesal mendengar keputusasaannya!! Dia tidak mengerti apa itu kegagalan….. atau yang namanya kesialan!! Gadis itu belum mengerti apapun!!
“Lupakan saja orang itu,” terdengar suara gadis dari kamar lain. “Ally memang gila. Punya penyakit kejiwaan masochism – yang suka menyakiti dirinya sendiri. Sebaiknya kau menjauhinya, karena kau tidak pernah tahu kan kalau – kalau dia tiba – tiba menikammu dengan silet itu??!”
Aleeta tersenyum kecil pada tetangga barunya yang lain itu. Kemudian ia beringsut kembali ke kamarnya. Tepat sebelum menutup pintunya, ia memandang pintu tetangga malangnya. Tertutup rapat.
“Setidaknya sekarang aku tahu namamu, Ally,”
Joel memainkan sedotan di gelas jus alpukatnya seraya mendengarkan cerita Aleeta yang duduk tepat di hadapannya. Gadis itu baru saja pindah ke sini dan ini hari sekolah pertamanya. Tapi, Joel tidak menyangka, baru sehari, Aleeta sudah mendapat kejutan. Kira – kira sejak sejam yang lalu, Aleeta terus membicarakan seseorang bernama Ally.
“Al, aku tahu kau sangat kasihan padanya. Tapi, Ally memang tidak berbakat jadi ballerina. Aku pernah melihatnya menari, dan itu benar – benar sangat buruk.” Raut wajah Aleeta berubah dan saat sadar, Joel segera merubah omongannya. “maksudku,….hmm…aku yakin Lora dan yang lain tidak bermaksud untuk menyakitinya. Mereka hanya…..senang bermain dengannya….”
Mata Aleeta melebar, tidak percaya mendengar kata – kata itu dari Joel.
“Bermain dengannya?? Joel, yang benar saja, dong! Ally sampai menjadi seorang masochist dan melukai dirinya sendiri. Depresi dan menganggap dirinya hanyalah sebuah kegagalan. Kau masih bisa bilang itu tidak menyakitinya??” seru Aleeta kesal. “jangan – jangan menurutmu pembunuh yang kemarin ada di berita itu hanya ditangkap karena menggelitiki korbannya??!”
Joel menarik napas panjang. Sepupunya yang satu ini memang sulit dipahami. Terlalu baik memperhatikan orang lain. Bahkan kadang – kadang melebihi dirinya sendiri.
“OK, aku minta maaf. Jangan marah begitu. Kau terlihat sangat menyeramkan,”
“Kau kan termasuk salah satu orang yang berpengaruh di sekolah ini, Joel. Kenapa kau tidak mencoba untuk menghentikan mereka??”
“Hmm….akan kucoba nanti,” dari tatapannya, jelas – jelas Aleeta tidak mengharapkan jawaban ‘tidak’. Namun, gadis itu tetap tidak yakin. Joel menatap sepupu kesayangannya . “Aleeta, itu nanti akan kuurus. Kau juga harus memikirkan dirimu sendiri. Adaptasi di sekolah dan lingkungan baru terkadang merepotkan. Fisikmu lemah dan kau juga terlihat makin kurus. Wajahmu hari ini pucat sekali. Dengar Aleeta, aku sama sekali tidak mau kau sakit.”
Aleeta mengangguk mendengar sepupunya. Joel memang terkadang terlalu protektif, seperti papa saja, pikir Aleeta.
Tiba – tiba terdengar teriakan, entah dari mana. Aleeta tersentak dan berdiri. Begitu pula dengan Joel. Damn! Ia mengumpat. Lora dan yang lain pasti berulah lagi!! Apa yang harus ia lakukan?? Aleeta pasti membela Ally di hadapan teman – temannya.
Aleeta menoleh ke sekelilingnya mencari arah suara. Itu pasti Ally dan mereka!! Ia segera berlari, sepertinya suara itu berasal dari arah kelas balet. Joel memanggil sepupunya dan ikut berlari mengikutinya, sambil mengumpat.
Ally tidak berhenti menangis sejak pulang tadi. Ia terus bergelung meringkuk di sudut kamarnya. Gemetar dan ketakutan. Aleeta menatapnya iba. Mereka melakukannya lagi. Para gadis mempermainkannya seolah – olah gadis itu tidak memiliki perasaan. Saat tiba di kelas balet tadi pagi, Aleeta melihat perlakuan pada Ally dengan mata kepala sendiri. Lengkingan mereka seperti sekumpulan gadis psikopat yang gemar menyakiti perasaan orang lain. Sama seperti membunuhnya perlahan!! Dan Aleeta tidak tega melihatnya. Ia bergegas menyeruak dan menemukan Ally tergeletak di sana dengan jiwa nyaris mati. Hinaan mereka seolah – olah menggerogotinya. Lora menyapa Aleeta dengan ramah dan menawarkan apa dia mau ikut bergabung berpesta. Ally tersentak. Ternyata tetangga barunya adalah sepupu salah seorang dari mereka. Ia masih ingat bagaimana Joel ikut mengurungnya di dalam gudang sekolah. Habis sudah dia.
Aleeta menatap mereka dingin“Kalian tidak lebih dari tikus – tikus rendahan,” jawabnya tajam, kemudian beralih pada Ally dan membantunya berdiri. Lora dan para gadis lain tercengang tidak percaya mendengar kalimat tadi.
“Lihat tingkah laku tolol sepupu kesayanganmu, Joel!!” seru Lora kesal.
Aleeta yang mengantarnya pulang, dan saat ini Ally terus menangis pilu. Seragamnya masih kotor penuh kotoran. Tadi ia diarak keliling sekolah dan dilempari, entah apa saja.
“ Ally,” Aleeta mendekat dan ikut duduk di sebelahnya.
“Kenapa kau membantuku?? Kau sepupu Joel,”
“Aku baru tahu Joel ternyata brengsek!!” maki Aleeta. “Aku hanya ingin membantumu, Ally. Aku yakin ibumu pasti sedih melihatmu seperti ini…kumohon, kali ini dengarkan aku.” Katanya pelan. “mungkin aku tidak mengalami yang sepertimu. Tapi, semua pikiranmu selama ini salah. Aku tahu kau sudah berusaha sebaik mungkin. Maaf, aku harus bilang kalau usahamu itu masih bukan yang terbaik.”
Sepasang mata di depannya melebar tidak terima.
“Aku kan sudah bilang maaf,” kata Aleeta nyengir. “selama ini kau terus menerus hidup dalam cercaan dan tekanan. Semua itu membuatmu depresi dan merasa tidak berharga. Dan perasaan itu membayangimu setiap kali kau berlatih. Belum apa – apa, kau sudah pesimis dan letih karena kau percaya omongan mereka kalau kau tidak bisa.” Aleeta menunduk untuk menatap Ally. “Aku pernah baca sebuah buku yang mengatakan semua orang hidup di dunia ini untuk sebuah tujuan. Tidak ada orang yang dilahirkan sia – sia , walaupun ia tidak diinginkan oleh orang tuanya. Kau berbeda. Ibumu sangat mencintaimu, dan ia tidak sia – sia melahirkanmu.”
“Aku juga pernah mengalaminya.” Pandangan Aleeta menerawang dan mengabur. “konyol dan tidak berdaya, tidak berguna, dan terkadang kupikir dunia tidak akan berubah walaupun aku mati. “ sang tetangga baru tersenyum sambil menghapus air matanya. “tapi aku salah. Justru dengan berpikir seperti itu, aku malah meracuni diriku sendiri, sehingga lumpuh. Seperti itulah yang terjadi padamu. Cercaan itu menutup pintu bakatmu yang terpendam. Karena saat kau bilang ‘tidak bisa’, kau memang tidak akan bisa. Tapi, belajarlah percaya pada dirimu sendiri. Lupakan omongan sampah mereka. Tidak ada orang yang mengerti dirimu selain kau sendiri. Kalau kau terus mendengarkan mereka, kau tidak akan bisa berhasil. Anggap saja mereka babi – babi yang cerewet, entah bicara apa. Kau pasti bisa kuat dan berhasil melakukannya. “ Aleeta kembali beralih pada Ally dan tersenyum pada wajah pucat itu.
“Percayalah pada dirimu, ……dan impianmu. Bagi ibumu, kau sudah seorang ballerina anggun, dan ia pasti bangga padamu.” Aleeta ingin menangis saat mengatakannya. Mengenang saat – saat di mana ia berusaha bangkit dari kegelapannya sendiri. Ia merangkul Ally. “…..kau berharga, Ally, kau berharga….”
Ally menunduk. Namun sesaat kemudian menepis lengan Aleeta. Aku tidak percaya!! Jangan menghiburku !! aku memang ballerina gagal yang konyol, dan sudah saatnya aku sadar akan hal itu!! impian hanyalah sebongkah sampah omong kosong. Hidup di dunia hanyalah bicara tentang siapa yang kuat dan yang lemah!! Tidak ada rumus seseorang itu berharga!!!
Aleeta memandang Ally dengan sedih. Gadis itu telah membuat keputusan terakhirnya. Membunuh jiwanya sendiri.
Entah telah berapa lama ia tertidur. Kepalanya terasa pusing dan matanya sangat bengkak. Tubuhnya lemas dan lengan yang ia iris dengan silet masih terasa ngilu. Ia bangkit dan terkejut. Heran, ia melangkah mengelilingi kamarnya. Tidak ada lagi bantal di dekat toilet. Pakaian dan buku telah berada di tempatnya masing – masing. Lukisan ballerina di dinding tidak lagi miring. Semuanya telah tertata rapi. Apa yang terjadi??!!
Kemudian ia melihatnya. Sang tetangga baru tertidur di mejanya. Lingkaran matanya menghitam. Dia yang membereskan semuanya?? Belum hilang keheranannya, Ally tertegun saat melihat sesuatu di sebelah lengan Aleeta. Dua pasang sepatu balet. Yang satu baru dan mengkilap, apa Ally yang membelikannya?? .Dan yang satunya………ya Tuhan…..itu sepatu baletnya. Tali karet beserta lubang – lubangnya telah terjahit dengan baik. Bagian luarnya sangat bersih, begitu pula dengan dalamnya. Sepasang sepatu itu kembali bersinar seperti saat ia menerimanya dari ibunya. Matanya nanar.
Aleeta menggeliat bangun, dan samar – samar menemukan Ally tengah mengamati sepatu baletnya. Ia tersenyum dan sesekali menguap, bekerja semalaman kemarin cukup melelahkan, tapi ia lakukan dengan semangat. Inilah usaha terakhirnya.
Ally menatap tetangga barunya yang baru bangun. Senyum Aleeta mengingatkannya pada seseorang. Ibunya. Senyum itulah yang pernah menghiburnya. Menguatkannya saat ia jatuh. Wajah ibunya terlukis pada Aleeta. Ally menangis dan spontan memeluknya. Sedikit terkejut, namun Aleeta tersenyum. Ia berhasil.
“Aku akan menangis bersamamu, apapun yang terjadi, aku akan menangis bersamamu. “
Ally menampar Aleeta, membuat sang tetangga baru bingung.
Ally tersenyum lebar – untuk pertama kalinya. “Anggap saja ucapan terima kasih, sekaligus balasan untuk yang dulu,”
Kejadian itu seolah – olah menjadi titik balik dalam hidupnya. Walaupun lelah, Ally kembali belajar balet dari awal. Ia keluar dari sekolah balet dan belajar otodidak. Mengulang gerakan – gerakan yang pernah ia pelajari. Sesekali masih terasa perih dan kata – kata mereka terbayang – bayang di benaknya, tapi Aleeta segera ‘menamparnya’ untuk bangkit kembali. Joel tidak tahan Aleeta terus - terusan marah padanya dan meminta Lora dan yang lain berhenti mengganggu Ally. Ally memiliki hidup yang jauh lebih baik, sekarang. Walaupun sedih karena harus kehilangan Aleeta. Setelah lulus, Aleeta harus pindah ke kota asalnya. Namun, semangat yang ia tinggalkan tetap ada di sini. Bersama Ally.
Hingga sekarang. Impiannya telah menjemputnya. Hari ini. Panggung yang bersinar. Alunan nada yang indah. Kursi penonton yang penuh sesak untuk menontonnya. Hari ini konser baletnya yang pertama. Setelah lulus, ia masuk universitas musik jurusan tari balet. Di sana ia mendapat nilai tertinggi dan penari utama dalam konser hari ini. Minggu lalu ia telah menelepon Aleeta untuk memberitahukan kabar luar biasa itu. Aleeta bilang, ia telah membuatnya sakit telinga karena Ally terus menerus berteriak – teriak di telepon. Dan Ally berjanji akan datang.
Detik demi detik. Waktu terus berjalan, dan beberapa menit lagi layar merah akan terbuka. Ia mulai gugup dan gemetar. Di akhir ia harus melakukan putaran, padahal pergelangan kakinya masih terasa sakit akibat cedera saat latihan. Putaran itu tidak pernah sempurna, bahkan sampai gladiresik pun masih belum berhasil. Namun saat menatap sepatu balet ibunya, Ally mendapat keyakinan kalau ia bisa. Ibunya. Ally. Impiannya. Janjinya. Percayalah pada dirimu sendiri. Hatinya terasa hangat dan ketenangan menyelimutinya. Aku bisa……
Layar merah terbuka dan orkestra memainkan karya Tchaikovsky. Para musisi mulai menggesek biolanya perlahan. Ally meletakkan ujung kakinya di lantai dan memulai segalanya. Ia seolah menari meniti dentingan nada, dan lincah beralih ke sisi kiri dan kanan panggung mengikuti staccato. Seisi gedung terpukau dan terpesona. Di hadapan mereka, seolah tampak seorang malaikat dengan sayap beningnya. Terbang. Melayang. Bersinar.
Ally merasa lebih tenang, namun tetap saja ia gugup jika mengingat putaran akhir yang harus ia lakukan dengan sempurna. Pergelangan kakinya masih sedikit terasa nyeri. Entah bagaimana keadaannya di akhir lagu nanti.
Saat itulah Ally melihatnya. Seseorang yang telah membangkitkannya kembali dari kematian jiwanya. Yang pertama kali memberitahunya bahwa ia sangat berharga. Sahabat yang membentuknya menjadi Ally yang baru. Sahabat terbaiknya. Seorang Aleeta tengah duduk di sebelah Joel pada barisan ketiga terdepan. Memperhatikannya dan tersenyum menenangkannya, seolah – olah mengerti kecemasan Ally.
‘Percayalah pada dirimu sendiri….’
Kata – kata Aleeta terngiang di telinganya. Dan Ally merasakan seberkas harapan yang pernah ia rasakan tumbuh lagi di hatinya. Ia harus percaya bahwa ia bisa melakukannya. Ally menghela napas panjang, dan mulai mencoba. Ia menari berputar dan kian lama kian cepat. Ia merentangkan tangannya, bebas. Terbang melintasi langit luas, menggapai sinar keemasan fajar. Kerja keras yang melelahkan, air mata dan tangisnya, semua kenangan itu seolah – olah ikut berpendar dengan indahnya.
Dan dalam sekejap, ketakutannya berakhir. Ally telah berhasil menyelesaikan konser pertamanya dengan sempurna. Matanya berkaca – kaca saat menerima applause dari hadirin. Tidak ada lagi cercaan, makian, semua itu tidak ada lagi…… Ia menghela napas lega. Hatinya meluap oleh kebahagiaan. Ia memandang Aleeta di seberang sana. Sahabatnya tertawa sambil menangis.
Aku berhasil, Al……. menjadi seorang ballerina seperti impianku….seperti janjiku pada ibu….. dan, ini hanya karenamu….. aku benar – benar bersyukur pada Tuhan karena telah mengirimmu untukku……thanks, Aleeta……
Ia tidak sabar untuk bertemu Aleeta setelah konser berakhir. Namun tepat saat ia keluar dari panggung, Joel datang menemuinya. Tatapannya terasa janggal.
“Kau menari dengan luar biasa, Ally. Aleeta sangat bangga padamu, dan……” ia perlahan merogoh sakunya. “dia minta kau membaca ini.”
Heran, namun Ally membuka surat itu dan membacanya.
Ya Tuhan………
Seketika itu juga, Ally merasa tubuhnya melemas. Matanya mendadak dipenuhi air mata. Lidahnya kaku dan hampir tidak bisa bicara. “Aleeta……”
Joel menatap Ally sendu dan air matanya bergulir. “Sebenarnya saat ia pindah ke kota ini, Aleeta menderita kanker stadium tiga. Dia ke sini untuk melanjutkan pengobatan. Namun kondisinya terus menurun, hingga para dokter menyerah. Aleeta tidak ingin kau tahu tentang penyakitnya, sehingga ia pulang ke kota asalnya. Sejak beberapa hari yang lalu, ia masuk ICU dan tidak sadarkan diri. Aku telah berjanji padanya untuk datang dan memberikan surat ini padamu, Ally,”
“T-Tapi,……tadi dia ada di sana…..Aleeta menontonku…..”
Joel terdiam dan menunduk. Ia menggeleng perlahan.
“Aleeta meninggal,………tepat saat konsermu dimulai………”
Ally terhenyak dan kehilangan kata- kata.
Dear Ally, maaf tidak memberitahumu tentang penyakitku. Aku sengaja merahasiakannya padamu, karena tidak mau kau cemas apalagi sampai mengganggu baletmu. Aku ingin memberitahumu kenapa aku bersikeras membantumu. Apa kau tahu? Aku depresi berat saat mengetahui penyakitku dan aku merasa sangat tidak berarti. Namun pada akhirnya aku dapat bangkit dan menjalani hidupku dengan bahagia. Saat aku melihatmu, aku ingin kau dapat bangkit, sama sepertiku, dan aku senang kau bisa melakukannya. Ibumu juga pasti sangat bangga padamu. Ally.
Seperti yang pernah kukatakan, setiap orang hidup karena sebuah tujuan. Dan aku telah berhasil mencapai tujuan itu. Kau telah membantuku melakukan sesuatu yang terbaik di akhir hidupku. Tetaplah percaya pada dirimu, Ally, kau tetaplah dirimu sendiri. kau adalah seorang Ally yang berharga………